BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Untuk memperoleh pemahaman dan mencegah timbulnya
kerancuan dalam berfikir, penulis memberikan penegasan istilah berdasarkan
judul skripsi yang penulis ajukan yaitu sebagai berikut :
1. Metode
Pembiasaan
Metode berarti cara yang teratur dan ilmiah dalam
mencapai maksud untuk memperoleh ilmu atau cara kerja yang sistematis untuk
mempermudah suatu kegiatan dalam mencapai maksudnya.[1]
Pembiasaan adalah sesuatu yang dibiasakan, yaitu
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk senantiasa mengamalkan ajaran
agamanya. Dengan pendekatan ini, siswa dibiasakan mengamalkan ajaran agama,
baik secara individual maupun secara kelompok dalam kehidupan sehari-hari.[2]
|
Jadi metode pembiasaan yang dimaksud adalah suatu cara yang
dilakukan oleh pendidik dengan memberikan latihan-latihan atau tugas-tugas
kepada siswa terhadap suatu perbuatan tertentu, agar siswa mempunyai kebiasaan
yang sesuai dengan ajaran Islam.
Metode pembiasaan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah sesuatu yang dibiasakan dari pihak sekolah bagi seluruh peserta didik
dalam mengamalkan ajaran agama Islam, terutama di lingkungan sekolah.
Beberapa pembiasaan yang diterapkan di SMP
Muhammadiyah 2 Yogyakarta adalah sholat dzuhur berjamaah, sholat dhuha, membaca Al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai,
membaca doa sebelum dan sesudah pelajaran dimulai, berjabat tangan dan
mengucapkan salam, serta pengumpulan dana sosial.
2. Internalisasi
Internalisasi
adalah penghayatan[3],
pendalaman (sebuah proses),
internalisasi sebagai upaya dalam menghayati nilai ajaran Islam.
Sehingga nilai ajaran Islam dapat tertanam dengan baik pada diri peserta didik,
untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik dalam bergerak,
bertindak dan berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai
ajaran Islam.
Sesuatu
yang hendak diinternalisasikan kepada peserta didik adalah nilai-nilai ajaran
Islam yang ada pada pembiasaan yang diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI)
al-Azhar Jatisari, sehingga nilai-nilai tersebut dimiliki oleh peserta didik
dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Nilai
Ajaran Islam
Nilai
adalah sesuatu yang dianggap memiliki harga bagi sekelompok orang tertentu.[4]
Sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber dari Al Qur’an dan Al
Hadits, yang mengandung ajaran aqidah, muamalat, Syari’ah, dan ibadah.
Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan nilai, sehingga nilai di sini erat
kaitannya dengan lebih menekankan dalam bentuk moral, akhlak, dan etika. Banyak
sekali macam-macam nilai dan nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
nilai ajaran Islam.
Dalam
penelitian ini yang ditekankan adalah nilai-nilai yang terkandung pada
pembiasaan yang diterapkan yaitu; sholat dzuhur berjama’ah, sholat dhuha,
tadarus Al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, membaca do’a sebelum dan sesudah
pelajaran, berjabat tangan dan mengucapkan salam, serta pengumpulan dana
sosial.
Nilai
yang dimaksud dalam skripsi ini adalah
yang terkandung pada pembiasaan yang diterapkan seperti di atas, yaitu nilai
keimanan, ketaqwaan, kedisiplinan, kebersihan, persamaan, persaudaraan, syukur,
ikhlas, dan tawakkal.
4. SMP
Muhammadiyah 2 Yogyakarta
SMP
Muhammadiyah 2 Yogyakarta berada di bawah naungan Majelis Pendidikan Dasar
Menengah Muhammadiyah (PDM Kotamadya Yogyakarta). Sekolah ini berstatus
akreditasi disamakan, yang berada di Jalan Kapas II / 7a. Di SMP Muhammadiyah 2
Yogyakarta inilah penulis bermaksud mengadakan penelitian.
Dari penegasan istilah di atas, dapat diketahui bahwa
judul skripsi ini adalah studi lapangan
terhadap metode pembiasaan yang diterapkan di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
sebagai upaya menginternalisasikan nilai ajaran Islam, apakah nilai-nilai
tersebut sudah tertanam dalam diri peserta didik, sehingga nilai-nilai ajaran
Islam diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama Islam (PAI ) di sekolah (baik sekolah umum atau madrasah)
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Tetapi
tujuannya berbeda dengan pendidikan nasional
yaitu menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar rakyat menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[5]
Eksistensi Pendidikan Agama Islam semakin kuat dari
tahun ke tahun, apalagi setelah disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional tahun 2003 tentang pelaksanaan pendidikan agama. Hal ini sangat memungkinkan
bagi sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan agama dengan
sebaik-baiknya sehingga tujuan PAI dapat tercapai.
Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan nilai,
karena lebih banyak menonjolkan aspek nilai, baik nilai ketuhanan maupun nilai
kemanusiaan, yang hendak ditanamkan atau ditumbuhkembangkan ke dalam diri
peserta didik sehingga dapat melekat pada dirinya dan menjadi kepribadiannya.[6]
Bagaimana Pendidikan Agama Islam dapat diterima dengan
baik oleh peserta didik, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik,
sehingga peserta didik dapat menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang
diajarkan pada Pendidikan Agama Islam. Tetapi khususnya Pendidikan Agama Islam,
aspek afektif sangat perlu diperhatikan, sehingga peserta didik dapat menjalani
kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam dan nilai ajaran Islam sendiri menjadi
pedoman dan kontrol dalam menghadapi globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang terkait atau kurang
concern terhadap persoalan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam
diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat, dan
berperilaku secara konkrit-agamis dalam kehidupan praktisi sehari-hari.[7]
Proses Internalisasi nilai ajaran Islam menjadi sangat
penting bagi peserta didik untuk dapat mengamalkan dan mentaati ajaran dan
nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga tujuan Pendidikan Agama Islam
tercapai. Upaya dari pihak sekolah untuk dapat menginternalisasikan nilai
ajaran Islam kepada diri peserta didik menjadi sangat penting, dan salah satu
upaya tersebut adalah dengan metode pembiasaan di lingkungan sekolah. Metode
pembiasaan tersebut adalah dengan menciptakan suasana religius di sekolah,
karena kegiatan–kegiatan keagamaan dan praktik-praktik keagamaan yang
dilaksanakan secara terprogram dan rutin (pembiasaan) diharapkan dapat
mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam secara
baik kepada peserta didik.
Metode Pembiasaan tersebut juga diterapkan di SMP
Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebagai salah satu upaya menginternalisasikan
nilai–nilai ajaran Islam kepada diri
peserta didik, sehingga peserta didik dapat menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk pembiasaan yang diterapkan di SMP Muhammadiyah
2 Yogyakarta adalah sholat dzuhur jama’ah, sholat dhuha, membaca Al-qur’an
sebelum pelajaran dimulai, membaca doa sebelum dan sesudah belajar, berjabat
tangan dan mengucapkan salam, serta pengumpulan dana sosial.
Dari pemaparan di atas, penelitian ini mencoba
membahas tentang bentuk dan pelaksanaan metode pembiasaan sebagai upaya
menginternalisasikan nilai ajaran Islam kepada peserta didik di SMP
Muhammadiyah 2 Yogyakarta .
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis
paparkan di atas maka ditarik rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana bentuk metode pembiasaan yang diterapkan di
SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebagai upaya untuk menginternalisasikan nilai
ajaran Islam ?
2.
Nilai-nilai apa saja yang muncul dan dirasakan oleh
peserta didik?
D. Alasan Pemilihan Judul
Beberapa hal yang
mendorong penulisan skripsi ini adalah :
1.
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan pendidikan nilai
yang perlu adanya proses internalisasi nilai ajaran Islam kepada peserta didik.
2.
Salah satu metode yang digunakan sebagai upaya
internalisasi nilai ajaran Islam adalah metode pembiasaan
3.
Terinternalisasinya nilai-nilai ajaran Islam oleh
peserta didik merupakan keberhasilan dari Pendidikan Agama Islam
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :
a.
Untuk mengetahui bentuk dan pelaksanaan metode
pembiasaan di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebagai upaya internalisasi nilai
ajaran Islam.
b.
Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang dapat terinternalisasi oleh peserta didik
dari metode pembiasaan yang diterapkan oleh guru PAI di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
2. Kegunaan
penelitian ini bagi penulis adalah :
a. Diharapkan dari
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi SMP Muhammadiyah 2
Yogyakarta pada khususnya dan bagi sekolah pada umumnya, sebagai salah bentuk
upaya menginternalisasikan nilai ajaran
Islam untuk mencapai tujuan PAI.
b. Untuk
menambah khasanah Ilmu Pengetahuan, khususnya untuk meningkatkan mutu
Pendidikan Agama Islam.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam
penulisan skripsi ini, sebagai acuan menggunakan buku “Paradigma Pendidikan
Islam “ karya Muhaimin dan kawan-kawan, yang menjelaskan tentang internalisasi
nilai pendidikan agama Islam. Karena Pendidikan Agama Islam merupakan
pendidikan nilai, sehingga perlu terjadi internalisasi nilai-nilai tersebut ke
dalam diri peserta didik.
Selain
itu menggunakan beberapa skripsi yang membahas tentang pendidikan nilai
(afeksi) dari Pendidikan Agama Islam. Skripsi-skripsi yang ada sebelumnya
memberikan gambaran skripsi yang akan disajikan. Di antara skripsi tersebut
adalah sebagai berikut :
Skripsi
yang ditulis oleh saudara Fauzan Lutfiyanto (2003), yang membahas tentang
pengaruh metode ceramah dan pembiasaan dalam pendidikan Aqidah Akhlak terhadap
pengamalan keagamaan siswa di MTs N Pundong Bantul. Dalam penelitiannya tersebut
ia memberikan kesimpulan adanya pengaruh yang positif dalam mengamalkan ajaran
Islam para siswa dengan metode ceramah dan pembiasaan.
Skripsi
yang ditulis oleh saudara Nuryanto yang berjudul “Pengembangan Nilai-Nilai
PAI Dalam Sistem Pendidikan Nasional “. Dalam penelitiannya tersebut ia
memberikan penjelasan tentang nilai-nilai PAI, menurutnya bahwa tujuan PAI
sangat membantu terwujudnya Pendidikan Nasional terutama untuk membentuk
peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Selain itu skripsi yang ditulis oleh saudari Immawati yang
berjudul “Urgensi Teori Kebiasaan Bagi Pembentukan Karakter Remaja Dalam Pendidikan Islam (Study Pemikiran
Stephen R Covey Dalam Buku 7 Kebiasaan yang Sangat Efektif)”. Dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa suatu pembiasaan sangat penting dalam
pembentukan karakter, terutama karakter yang Islami.
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh saudari Noor Hayati
(1998) yang berjudul “Penanaman Dan Pembinaan Nilai Keagamaan Pada Anak
Berdasarkan Fase Perkembangan (Suatu Kajian Ilmu Jiwa Perkembangan)”. Dalam
penelitiannya, ia lebih menitikberatkan pada masalah penanaman dan pembinaan
nilai keagamaan yang harus disesuaikan dengan fase perkembangan serta dilakukan
secara berangsur-angsur dan bijaksana.
Skripsi ini membahas tentang internalisasi nilai ajaran Islam
melalui metode pembiasaan yang merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah,
sehingga peserta didik menerima dan memiliki nilai-nilai ajaran Islam dalam meningkatkan
kesadaran menjalankan perintah agama dalam kehidupan sehari-hari.
G. Landasan Teori
1.
Metode Pembiasaan
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan , yaitu
meta dan hodos, meta berarti “melalui “ dan hodos berarti “jalan “ atau “cara
“. Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui
untuk mencapai suatu tujuan.[8]Selanjutnya
jika metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti
metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang
sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu
metode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan
mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.[9]
Metode dapat pula dikatakan sebagai seni dalam mengajar, sehingga metode sangat
penting dalam dunia pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha sadar manusia dalam mencapai
tujuan tertentu (tujuan pendidikan). Banyak para tokoh yang mengemukakan
definisi pendidikan, tetapi pada intinya pendidikan mempunyai lima unsur utama, yaitu:[10]
a. Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan,
pimpinan, atau pertolongan yang dilakukan secara sadar
b. Ada
pendidik, pembimbing atau penolong
c. Ada
yang dididik atau si terdidik
d. Adanya
dasar atau tujuan dalam bimbingan tersebut
Dari
kelima unsur pendidikan di atas dapat diketahui bahwa fungsi metode sangat
penting dalam proses belajar mengajar. Karenanya terdapat suatu prinsip yang
umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan
dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi,
sehingga pelajaran atau materi pendidikan yang akan disampaikan itu dapat
dengan mudah diberikan. Banyaknya metode yang ditawarkan dalam mengajar
merupakan usaha untuk mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan
perkembangan jiwa peserta didik dalam menerima materi pelajaran.
Dalam
penelitian ini, dari beberapa metode yang ada, maka metode yang dibahas adalah
metode pembiasaan. Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara
berulang-ulang agar sesuatu itu dapat
menjadi kebiasaannya. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang
dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Oleh karena itu, uraian tentang
pembiasaan selalu menjadi satu dengan uraian tentang perlunya mengamalkan
kebaikan yang telah diketahui.
Metode
pembiasaan juga digunakan oleh Al-qur’an dalam memberikan materi pendidikan
melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk
merubah kebiasaan–kebiasaan yang negatif. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia
sebagai sesuatu yang istimewa. Ia banyak sekali menghemat kekuatan manusia,
karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar kekuatan
itu dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan,
berproduksi dan aktivitas lainnya.[11]
Pembiasaan
dalam pendidikan agama hendaknya dimulai sedini mungkin. Rasulullah SAW
memerintahkan kepada orang tua, dalam hal ini para pendidik agar mereka
menyuruh anak-anak mengerjakan sholat, tatkala mereka berumur tujuh tahun. Hal
tersebut berdasarkan hadits di bawah ini:
مُرُوْا
أَوْلاَدَكُمْ بِاالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ
فىِالمَضَاجِعِ (رواه أبوداوود)
Artinya: “Suruhlah anak-anak kalian untuk
melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka
apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka”. ( HR. Abu Dawud).[12]
Berdasarkan
hadits di atas maka anak-anak atau peserta didik dibiasakan untuk sholat.
Membiasakan anak shalat, lebih-lebih dilakukan
secara berjamaah itu penting. Sebab dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu
merupakan hal yang sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan
bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup seseorang
akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu seseorang harus
memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan.[13]
2.
Internalisasi Nilai
Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. [14]
Pengertian nilai adalah suatu penetapan atau kualitas obyek yang menyangkut suatu jenis aspirasi atau minat.[15] Banyak sekali macam-macam nilai yang berkembang di masyarakat, baik dari lapangan hidup, fungsional ataupun kejiwaan. Salah satu nilai tersebut adalah nilai ajaran Islam.
Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan nilai di mana peserta didik diharapkan dapat bertindak, bergerak dan berkreasi dengan nilai-nilai tersebut. Ajaran Islam mengandung nilai spiritual yang mendalam, di mana diletakkan iman terhadap-Nya. Iman inilah yang merupakan sumber kekuatan bagi kehidupan manusia dalam menjalin kehidupan agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Nilai ajaran Islam merupakan sistem yang diwujudkan dalam amal perilaku para pemeluknya, termasuk dalam hal ini anak, peserta didik maupun masyarakat pada umumnya. Sistem nilai agama Islam adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari beberapa komponen yang saling mempengaruhi dan mempunyai keterpaduan yang bulat yang berorientasi pada nilai Islam. Jadi bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu
Pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya, ia tidak hanya membekali anak dengan pengetahuan agama, atau mengembangkan intelek anak saja dan tidak pula mengisi dan menyuburkan perasaan (sentimen ) agama saja, akan tetapi ia menyangkut keseluruhan diri pribadi anak, mulai dari latihan-latihan (amaliah) sehari-hari, yang sesuai dengan ajaran agama, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan dirinya sendiri.[16]
Internalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar nilai tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Karena pendidikan agama Islam berorientasi pada pendidikan nilai sehingga perlu adanya proses internalisasi tersebut. Jadi internalisasi merupakan ke arah pertumbuhan batiniah atau rohaniah peserta didik. Pertumbuhan itu terjadi ketika siswa menyadari sesuatu “nilai” yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai itu dijadikan suatu “ sistem nilai diri” sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku, dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini.
Tahap-tahap
dalam internalisasi nilai adalah: [17]
a. Tahap
transformasi nilai, pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai
yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan
komunikasi verbal.
b. Tahap
transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan
komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru bersifat timbal
balik. Dalam tahap ini tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik
dan yang buruk, tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh
amalan yang nyata, dan siswa diminta memberikan respons yang sama, yakni
menerima dan mengamalkan nilai itu.
c.
Tahap
transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini lebih dalam daripada sekedar
transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di hadapan siswa bukan lagi sosok
fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya). Demikian juga siswa
merespons kepada guru bukan hanya gerakan/penampilan fisiknya, melainkan sikap
mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam
transinternalisasi ini adalah komunikasi dua kepribadian yang masing-masing
terlibat secara aktif.
Proses internalisasi terjadi apabila individu
menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu dikarenakan sikap
tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem yang
dianutnya. Dalam hal ini, maka isi dan hakekat sikap yang diterima itu sendiri
dianggap oleh individu sebagai memuaskan. Sikap demikian itulah yang biasanya
merupakan sikap yang dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak mudah untuk
berubah selama sistem nilai yang ada dalam diri individu yang bersangkutan
masih bertahan.[18]
Jadi,
internalisasi nilai sangatlah penting dalam pendidikan agama Islam karena
pendidikan agama Islam merupakan pendidikan nilai sehingga nilai-nilai tersebut
dapat tertanam pada diri peserta didik,
dengan pengembangan yang mengarah pada internalisasi nilai-nilai ajaran
Islam merupakan tahap pada manifestasi manusia religius. Sebab tantangan untuk
arus globalisasi dan transformasi budaya bagi peserta didik dan bagi manusia
pada umumnya adalah difungsikannya nilai-nilai moral agama. Sebagai seorang
muslim maka yang difungsikan adalah nilai-nilai ajaran Islam, yang dapat
terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahap-tahap internalisasi ini diupayakan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:[19]
a.
Menyimak, yakni pendidik memberi stimulus kepada
peserta didik dan peserta didik menangkap stimulus yang diberikan.
b.
Responding, peserta didik mulai ditanamkan
pengertian dan kecintaan terhadap tata nilai tertentu, sehingga memiliki latar
belakang Teoritik tentang sistem nilai, mampu memberikan argumentasi rasional
dan selanjutnya peserta didik dapat memiliki komitmen tinggi terhadap nilai
tersebut.
c.
Organization, peserta didik mulai dilatih
mengatur sistem kepribadiannya disesuaikan dengan nilai yang ada.
d.
Characterization, apabila kepribadian sudah
diatur disesuaikan dengan sistem nilai tertentu dan dilaksanakan berturut
–turut, maka akan terbentuk kepribadian yang bersifat satunya hati, kata dan
perbuatan. Teknik internalisasi sesuai dengan tujuan pendidikan agama,
khususnya pendidikan yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, dan akhlakul
karimah.
3.
Nilai Ajaran Islam
Nilai merupakan esensi
yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. [20]
Ajaran Islam adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagai seorang muslim, ada lima perkara yang membuat
status muslimnya sempurna yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam yaitu: membaca dua kalimat
syahadat, mengerjakan shalat, menjalankan puasa, mengeluarkan zakat dan pergi
haji ke Baitullah Mekah bagi orang yang mampu.
Islam
sebagai agama wahyu mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan
eternal, serta mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan ajaran-ajaran tersebut
Islam menuntun manusia untuk meningkatkan harkat dan martabatnya agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. [21]
Jadi ajaran Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah tetapi ajaran
Islam juga mengatur hubungan dengan sesama manusia bahkan mengatur hubungan
dengan alam semesta.
Ajaran Islam
meliputi bidang-bidang sebagai berikut:[22]
a. Bidang Ibadah (rubu`
ibadah), yang menjelaskan soal hubungan manusia dengan Tuhannya dengan
jalan mengerjakan ibadah dan pengabdian menurut tata cara tertentu.
b. Bidang Ekonomi (rubu`
mu`amalah), yang berhubungan dengan penghidupan dan mencari rejeki.
c. Bidang Pernikahan (rubu`
munakahat), yaitu yang berhubungan dengan nikah, talak, rujuk, yang
merupakan saluran untuk mendapatkan keturunan yang sah
d. Bidang Hukum Pidana
(rubu` jinayah), yang berhubungan dengan pelanggaran dan kejahatan antar
individu, individu dengan masyarakat
umum atau negara.
Rahmatan lil `alamin memang
benar, jika kita sebagai orang Islam menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan
benar karena manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu
umat Islam wajib mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT, dan
Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk beribadah. Hal ini berdasarkan
firman Allah dalam surat
adz-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلأِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya
: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.[23]
Beberapa nilai ajaran Islam yang ditanamkan kepada peserta
didik sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut :
a. Iman
b. Taqwa
c. Ikhlas
d. Tawakkal
e. Disiplin
f.
Kebersihan
g. Persaudaraan
h. Persamaan
i.
Syukur
4. Tahap-tahap Perkembangan Nilai Moral
J. Piaget dan L. Kohlberg
bahwa tahap- tahap perkembangan nilai
moral seseorang terbagi ke dalam 4 tahap beserta ciri-cirinya dan perkembangan
moral itu berhubungan dengan perkembangan kognitif seseorang, yaitu sebagai
berikut:[24]
a. Tahap pertama: usia 0-3 tahun (pra moral)
Pada fase ini anak tidak mempunyai bekal
pengertian tentang baik dan buruk, tingkah lakunya dikuasai oleh
dorongan-dorongan naluriah saja, tidak ada aturan yang mengendalikan
aktivitasnya, aktivitas motoriknya tidak dikendalikan oleh tujuan yang berakal.
b. Tahap kedua: usia 3-6 tahun (tahap
egosentris)
Pada fase ini anak hanya mempunyai
pikiran yang samar-samar dan umum tentang aturan-aturan, ia mengubah aturan
untuk memuaskan kebutuhan pribadi dan gagasannya yang timbul mendadak, ia
bereaksi terhadap lingkungannya secara instinktif dengan hanya sedikit
kesadaran moral.
c. Tahap ketiga: usia 7-12 tahun (tahap
heteronom)
Pada fase ini ditandai dengan suatu
paksaan. Di bawah tekanan orang dewasa atau orang berkuasa, anak sedikit
menggunakan kontrol moral dan logika terhadap perilakunya, masalah moral
dilihat dalam arti hitam putih, boleh tidak boleh, dengan otoritas dari luar
(orang tua, guru dan anak yang lebih besar) sebagai faktor utama dalam
menentukan apa yang baik dan yang jahat. Karena itu, pemahaman tentang
moralitas yang sebenarnya masih sangat terbatas.
d. Tahap keempat: usia 12 tahun dan seterusnya
(tahap otonom)
Pada tahap ini seseorang mulai mengerti
tentang nilai-nilai dan mulai memakainya dengan caranya sendiri. Moralitasnya
ditandai dengan kooperatif, bukan paksaan, interaksi dengan taman sebaya, diskusi,
kritik diri, rasa persamaan dan menghormati orang lain merupakan faktor utama
dalam tahap ini. Aturan dan pikiran dipertanyakan, diuji dan dicek
kebenarannya. Aturan yang dianggap dapat diterima secara moral
diinternalisasikan dan menjadi bagian khas dari kepribadiannya. Pada masa
remaja, seseorang menganggap aturan-aturan sebagai persetujuan teman-teman
sebaya yang saling menguntungkan. Ia memberontak terhadap moralitas orang tua,
tetapi akhirnya mereka kembali kepada moralitas yang sebelumnya merupakan tolak
mati-matian sewaktu masih remaja.
5. Metode Pembiasaan
sebagai Upaya Internalisasi Nilai Ajaran Islam
Kebiasaan terbentuk karena sesuatu yang dibiasakan, sehingga
kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan atau ketrampilan secara
terus-menerus, secara konsisten untuk waktu yang lama, sehingga perbuatan dan
ketrampilan itu benar-benar bisa diketahui dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan
yang sulit ditinggalkan, atau bisa juga kebiasaan diartikan sebagai gerak
perbuatan yang berjalan dengan lancar dan seolah-olah berjalan dengan
sendirinya. Perbuatan ini terjadi awalnya dikarenakan pikiran yang melakukan
pertimbangan dan perencanaan, sehingga nantinya menimbulkan perbuatan dan
apabila perbuatan ini diulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan.
Kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga nilai-nilai yang
ada pada pembiasaan yang dilakukan dapat dimiliki dan tertanam dengan baik atau
nilai-nilai tersebut dapat terinternalisasi dan dapat menjadi suatu karakter.
Jadi kebiasaan di sini merupakan hal-hal yang sering dilakukan secara
berulang-ulang dan merupakan puncak perwujudan dari tingkah laku yang
sesungguhnya, di mana ketika seseorang telah memiliki kemampuan untuk
mewujudkan lewat tindakan dan apabila tindakan ini dilakukan secara
terus-menerus, maka ia akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan tersebut akan
mewujudkan karakter.
Karakter itu terbentuk dari luar. Karakter terbentuk dari
asimilasi dan sosialisasi. Asimilasi menyangkut hubungan manusia dengan
lingkungan bendawi, sedangkan sosialisasi menyangkut hubungan antar manusia.
Kedua unsur inilah yang membentuk karakter.[25]
Pendidikan agama Islam sebagai pendidikan nilai maka perlu
adanya pembiasaan-pembiasaan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga
nilai-nilai ajaran Islam dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, yang
akhirnya akan dapat membentuk karakter yang Islami. Nilai-nilai ajaran Islam
yang menjadi karakter merupakan perpaduan yang bagus (sinergis) dalam membentuk
peserta didik (remaja) yang berkualitas, di mana individu bukan hanya
mengetahui kebajikan, tetapi juga merasakan kebajikan dan mengerjakannya dengan
didukung oleh rasa cinta untuk melakukannya.
Pembentukan karakter seseorang (terutama peserta didik) bersifat
tidak alamiyah, sehingga dapat berubah dan dibentuk sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Kaidah umum dalam pembentukan karakter adalah sebagai berikut :[26]
1.
Kaidah kebertahapan, proses perubahan, perbaikan, dan
pengembangan harus dilakukan secara bertahap.
2.
Kaidah kesinambungan, anda harus tetap berlatih
seberapapun kecilnya porsi latihan tersebut, nilainya bukan pada besar
kecilnya, tetapi pada kesinambungannya.
3.
Kaidah momentum, pergunakan berbagai momentum peristiwa
untuk fungsi pendidikan dan latihan. Misalnya menggunakan bulan Ramadhan untuk
mengembangkan sifat sabar, kemauan yang kuat, kedermawanan dan seterusnya.
4.
Kaidah motivasi intrinsik, jangan pernah berfikir untuk
memiliki karakter yang kuat dan sempurna, jika dorongan itu benar-benar lahir
dalam diri anda sendiri, atau dari kesadaran anda akan hal itu.
5.
Kaidah pembimbing, anda mungkin bisa melakukannya
seorang diri, tetapi itu tidak akan sempurna. Jadi, anda membutuhkan kawan yang
berfungsi sebagai guru.
Dari kaidah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
selain kebiasaan diberikan juga
pengertian secara kontinyu, sedikit demi sedikit dengan tidak melupakan
perkembangan jiwanya, dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan karakter dengan melihat nilai-nilai apa yang diajarkan serta
bersikap tegas dengan memberikan kejelasan sikap, mana yang harus dikerjakan
dan mana yang tidak. Memperkuatnya dengan memberikan sangsi dengan kesalahannya
dan juga tidak kalah pentingnya dengan adanya teladan atau contoh yang
diberikan.
Metode pembiasaan sebagai upaya internalisasi nilai ajaran
Islam sehingga dapat membentuk karakter
peserta didik yang Islami, hal ini juga dikaitkan dengan hukum panen sebagai
berikut :[27]
Tanamlah pemikiran
Kamu akan menuai tindakan
Tanamlah tindakan
Kamu akan menuai kebiasaan
Tanamlah kebiasaan
Kamu akan menuai karakter
Tanamlah karakter
Kamu akan menuai nasibmu
H. Metode Penelitian
1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field study
research) yang bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang
keadaan sekarang dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga, dan
masyarakat.[28]
Penelitian ini bersifat deskriptif yang memberi gambaran
secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
dalam penelitian ini untuk mengetahui informasi tentang metode pembiasaan yang
diterapkan di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebagai upaya menginternalisasi
nilai ajaran Islam.
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi tingkah–laku manusia dalam situasi tertentu menurut
perspektif peneliti sendiri.[29]
Pendekatan ini digunakan karena data yang diperoleh adalah data deskriptif yang
berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang serta berupa perilaku yang
diamati.
2.
Metode Penentuan Informan
Informan
adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan
kondisi latar penelitian.[30]
Untuk menentukan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik berdasarkan
tujuan-tujuan tertentu (purposive sampling), dengan cara bola salju (snow
ball) yaitu menelusuri terus data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan
yang ada.
Informan
dalam penelitian ini dibedakan menjadi :
a.
Informan kunci (key informan)
Informan
kunci dalam penelitian ini adalah guru agama Islam, terutama bidang Aqidah,
Ibadah, dan Akhlak.
b.
Informan pendukung
Informan
pendukung dalam penelitian ini terdiri dari :
1.
Kepala Sekolah
2.
Guru BP
3.
Sebagian siswa kelas 3 A, ada 9 siswa
3.
Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan atau memperoleh data, menggunakan beberapa
metode yaitu :
a.
Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang
sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.[31]
Metode ini digunakan untuk memperoleh
data tentang :
1.
Gambaran umum tentang keadaan sekolah
2.
Gambaran tentang pelaksanaan metode pembiasaan
3.
Suasana religius di sekolah
b.
Wawancara
Metode wawancara
adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.[32]
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara yang bebas
terpimpin, sebab sekalipun wawancara dilakukan secara bebas tetapi sudah
dibatasi oleh struktur pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data sebagai berikut :
1.
Tujuan pelaksanaan metode pembiasaan
2.
Nilai-nilai ajaran Islam yang hendak diinternalisasikan
kepada peserta didik.
3.
Nilai-nilai apa saja yang muncul dan dirasakan oleh
siswa.
c.
Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah teknik pengambilan data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen.[33]
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang :
1.
Kondisi dan gambaran umum tentang SMP Muhammadiyah 2
Yogyakarta.
2.
Keadaan guru, karyawan, dan siswa.
3.
Sarana dan fasilitas sekolah.
4.
Metode Analisis Data
Analisa
data dalam penelitian adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[34]
Data
yang telah terhimpun kemudian diklarifikasikan untuk dianalisa dengan
menggunakan pendekatan analisa induktif,
yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit,
kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang khusus konkrit itu
ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.[35]
Selanjutnya
menggunakan analisa data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, dengan tiga
jenis kegiatan, yaitu; reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat sebelum,
selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar. [36]
Alur
pertama adalah reduksi data, merupakan kegiatan pemilihan, pemilahan,
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang berasal dari lapangan. Reduksi
data berlangsung selama proses penelitian sampai tersusunnya laporan akhir
penelitian. Sejak tahap ini analisa data sudah dilaksanakan karena reduksi data
juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari analisis data.
Alur
kedua adalah penyajian data yang merupakan sekumpulan informasi yang tersusun
dalam teks naratif. Penyusunan informasi tersebut dilakukan secara sistematis
dalam bentuk tema-tema pembahasan sehingga mudah difahami makna yang terkandung
di dalamnya.
Alur
ketiga adalah menarik kesimpulan atau verifikasi dari semua kumpulan makna
setiap kategori, peneliti berusaha mencari makna esensial dari setiap tema yang
disajikan dalam teks naratif yang berupa fokus penelitian. Selanjutnya ditarik
kesimpulan untuk masing-masing fokus tersebut, tetapi dalam suatu kerangka yang
sifatnya komprehensif.
Ilustrasi
dari prosedur di atas adalah pertama, peneliti mengadakan pengumpulan data di
lapangan dengan menggunakan pedoman yang sudah disiapkan sebelumnya. Pada saat
itulah dilakukan pencatatan dan tanya jawab dengan informan. Dari informasi
yang diterima tersebut seringkali memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, baik
pada saat wawancara berlangsung maupun sudah berakhir atau disebut proses
wawancara mendata.
Setelah
data dilacak, diperdalam dan diuji kebenarannya, selanjutnya dicari maknanya
berdasarkan kajian kritik yang digunakan, dengan cara pemilihan, pemilahan, dan
penganalisaan data. Langkah selanjutnya data transformasikan dan disusun secara
tematik dalam bentuk teks naratif sesuai dengan karakter masing-masing.
Terakhir, dicari makna yang paling esensial dari masing-masing tema berupa
fokus penelitian yang dituangkan dalam kesimpulan.
I. Sistematika
Pembahasan
Untuk mencapai pemahaman
yang utuh, runtut, dan sistematis dalam penulisan skripsi ini, maka menggunakan
sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB Pertama,
berisi uraian tentang pendahuluan, yang menjadi landasan bagi bab-bab
selanjutnya. Bab ini memuat tentang penegasan istilah, latar belakang masalah,
rumusan masalah, alasan pemilihan judul,
tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian yang digunakan dan ditutup dengan sistematika pembahasan.
BAB Kedua,
Membahas kondisi dan gambaran umum tentang SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta, yang
pembahasannya terdiri atas letak dan keadaan
geografis, sejarah berdiri dan perkembangannya, struktur organisasi,
keadaan guru, siswa, dan karyawan serta sarana dan fasilitas sekolah.
BAB Ketiga,
membahas tentang pelaksanaan metode pembiasaan di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
sebagai upaya menginternalisasi nilai ajaran Islam para siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam bab ini pula dibahas analisis metode pembiasaan terhadap
internalisasi nilai, serta nilai-nilai apa saja yang muncul dan dirasakan oleh
peserta didik kemudian dihubungkan dengan teori–teori yang sudah ada.
BAB Keempat,
merupakan akhir dari penelitian skripsi ini, yang berisi kesimpulan,
saran-saran dan penutup.
[1] Peter
Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta:
Modern English Press, 1991) hal. 973
[2] Depag RI ,
Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum/BPP PAI Lanjutan Tingkat Pertama ( t. k:
t. p.,1994 ), hal. 5
[3] Peter
Salim dan Yenny Salim, op cit., hal. 576
[4] Muhaimin
dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Tribenda Karya,
1983) hal. 7
[5] Sistem
Pendidikan Nasional 2003 (Yogyakarta :
Media Wacana Press, 2003), hal. 12
[7] Ibid.,
hal. 168
[8]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta :
Logos, 2001), hal. 91
[9] Ibid, hal. 91-92
[10] Ibid,
hal. 9.
[11] Abuddin
Nata, op.cit., hal. 100-101
[12]
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Logos, 1999), hal. 162
[13]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 184.
[14] E.MK
Kaswardi, Pendidikan Nilai (Jakarta: Grasindo, 1993), hal.
[15] M. Nur
Syam, Filsafat Pendidikan Islam dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 133.
[16] Zakiyah
Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), hal.107
[17]
Muhaimin, dkk, op. cit., hal. 178
[18]
Saifuddin Azwar, Sikap Manusia (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 57
[19]
HM.Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 94.
[20] Ibid.,
hal. 62
[21]
Abdurrahman Mas`udi, dkk, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset, 2001,), hal. 19.
[22] Ibid.,
hal. 39.
[23] Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit.,
hal. 862.
[24]
Muhaimin, dkk, op.cit., hal. 169-170.
[25]
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2000) edisi revisi, hal. 181
[26]
Muhammad Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2003), hal.69-70
[27]
Soemarno Soedarsono, Character Buidling: Membentuk Watak (Jakarta : Elek Media
Komputindo, 2002), hal. 217
[28] Husaini
Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta : Bumi Aksara,
2000), hal. 5
[29] Ibid.,
hal. 81
[30]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Rosdakarya, 2002) cet: XVII, hal. 90
[31] Husaini
Usman dan Purnomo Setiady, op. cit., hal. 54.
[32] Ibid.,
hal 57-58
[33] Ibid.,
hal 73
[34] Lexy J.
Moleong, op.cit, hal. 103
[35]
Sutrisno Hadi, Metodologi Research 1 (Yogyakarta
: Yayasan Penerbitan Fak. Psikologi UGM, 1979) cet: VII, hal. 42
[36]
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Penerj. Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisa
Data Kualitatif (Jakarta : UI Press, 1992 ) hal.19
No comments:
Post a Comment