BAB II
LANDASAN
TEORI
A. Pengertian Minat
Secara
bahasa minat berarti “kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.”[1] Minat
merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali
pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang
sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa
minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.
Sedangkan
pengertian minat secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya yang dikemukakan oleh Hilgard yang dikutip oleh Slameto menyatakan
“Interest is persisting tendency to pay attention to end enjoy some activity
and content.”[2]
Sardiman
A. M. berpendapat bahwa “minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi
apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang
dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan kebutuhannya sendiri.”[3]
Sedangkan menurut I. L. Pasaribu dan
Simanjuntak mengartikan minat sebagai “suatu motif yang menyebabkan individu berhubungan secara
aktif dengan sesuatu yang menariknya.”[4]
Selanjutnya
menurut Zakiah Daradjat, dkk., mengartikan minat adalah “kecenderungan jiwa
yang tetap ke jurusan sesuatu hal yang berharga bagi orang.”[5] Minat adalah
kecenderungan untuk merasa tertarik atau senang terhadap suatu obyek. [6]
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang dikutip di atas
dapat disimpulkan bahwa, minat adalah kecenderungan seseorang terhadap obyek
atau sesuatu kegiatan yang digemari yang disertai dengan perasaan senang,
adanya perhatian, dan keaktifan berbuat.
Minat
memiliki unsur-unsur yang terdapat di dalamnnya antara lain:
a. Perhatian
Perhatian
sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik, dan hal ini akan
berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Menurut Sumadi Suryabrata
“perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas
yang dilakukan.”[7]
Kemudian
Wasti Sumanto berpendapat “perhatian adalah pemusatan tenaga atau kekuatan jiwa
tertentu kepada suatu obyek, atau pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu
aktivitas.”[8]
Aktivitas
yang disertai dengan perhatian intensif akan lebih sukses dan prestasinya pun
akan lebih tinggi. Maka dari itu sebagai
seorang guru harus selalu berusaha untuk menarik perhatian anak didiknya
sehingga mereka mempunyai minat terhadap pelajaran yang diajarkannya.
Orang
yang menaruh minat pada suatu aktivitas akan memberikan perhatian yang besar.
Ia tidak segan mengorbankan waktu dan tenaga demi aktivitas tersebut. Oleh
karena itu seorang siswa yang mempunyai perhatian terhadap suatu pelajaran, ia
pasti akan berusaha keras untuk memperoleh nilai yang bagus yaitu dengan
belajar.
b. Perasaan
Unsur
yang tak kalah pentingnya adalah perasaan dari anak didik terhadap pelajaran
yang diajarkan oleh gurunya. Tiap aktivitas dan pengalaman yang dilakukan akan
selalu diliputi oleh suatu perasaan, baik perasaan senang maupun perasaan tidak
senang. Perasaan umumnya bersangkutan dengan
fungsi mengenal artinya perasaan dapat timbul karena mengamati, menganggap, mengingat-ingat atau memikirkan
sesuatu.
Perasaan
didefinisikan “sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan
gejala-gejala mengenal dan dialami dalam kualitas senang atau tidak dalam
berbagai taraf.”[9]
Yang
dimaksud dengan perasaan di sini adalah perasaan senang dan perasaan tertarik.
“Perasaan merupakan aktivitas psikis yang di dalamnya subjek menghayati
nilai-nilai dari suatu objek.”[10]
Perasaan
sebagai faktor psikis non intelektual, yang khusus berpengaruh terhadap
semangat belajar. Jika seorang siswa mengadakan penilaian yang agak spontan
melalui perasaannya tentang pengalaman belajar di sekolah, dan penilaian itu
menghasilkan penilaian yang positif maka akan timbul perasaan senang di hatinya
akan tetapi jika penilaiannya negatif maka timbul perasaan tidak senang.
Perasaan senang akan menimbulkan minat, yang
diperkuat dengan sikap yang positif. Sedangkan perasaan tidak senang akan
menghambat dalam mengajar, karena tidak adanya sikap yang positif sehingga
tidak menunjang minat dalam belajar.
c. Motif
Kata
motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motif dapat dikatakan “sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam
subyek untuk melakukan kreativitas tertentu
demi mencapai suatu tujuan.”[11]
Menurut Sumadi Suryabrata, motif adalah “keadaan
dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu guna mencari suatu tujuan.”[12]
Seseorang
melakukan aktivitas belajar karena ada
yang mendorongnya. Dalam hal ini motivasi sebagai dasar penggeraknya yang mendorong seseorang untuk
belajar. Dan minat merupakan potensi psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk
menggali motivasi bila seseorang sudah termotivasi untuk belajar, maka dia akan
melakukan aktivitas belajar dalam rentangan waktu tertentu.
Ketiadaan
minat terhadap suatu mata pelajaran menjadi pangkal penyebab kenapa anak didik
tidak bergeming untuk mencatat apa-apa yang telah disampaikan oleh guru. Itulah
sebagai pertanda bahwa anak didik tidak mempunyai motivasi untuk belajar. Oleh
karena itu guru harus bisa membangkitkan minat anak didik.
Sehingga
anak didik yang pada mulanya tidak ada
hasrat untuk belajar, tetapi karena ada
sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar.
Dalam
proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu
yang akan dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya. Dan segala sesuatu yang
menarik minat orang tertentu selama sesuatu itu tidak bersentuhan dengan
kebutuhannya. Oleh karena itu, apa yang seseorang lihat sudah tentu
membangkitkan minatnya sejauh apa yang
ia lihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri.
Jadi
motivasi merupakan dasar penggerak yang mendorong aktivitas belajar seseorang
sehingga ia berminat terhadap sesuatu objek, karena minat adalah alat motivasi
dalam belajar.
Minat
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi usaha yang dilakukan
seseorang. Minat yang kuat akan menimbulkan usaha yang gigih serius dan tidak
mudah putus asa dalam menghadapi tantangan. Jika seorang siswa memiliki rasa
ingin belajar, ia akan cepat dapat mengerti dan mengingatnya.
Elizabeth
B. Hurlock menulis tentang fungsi minat bagi kehidupan anak sebagaimana yang
ditulis oleh Abdul Wahid sebagai berikut:
a. Minat mempengaruhi
bentuk intensitas cita-cita.
Sebagai
contoh anak yang berminat pada olah raga maka cita-citanya adalah menjadi
olahragawan yang berprestasi, sedang anak yang berminat pada kesehatan fisiknya
maka cita-citanya menjadi dokter.
b. Minat sebagai tenaga
pendorong yang kuat.
Minat
anak untuk menguasai pelajaran bisa mendorongnya untuk belajar kelompok di
tempat temannya meskipun suasana sedang
hujan.
c. Prestasi selalu
dipengaruhi oleh jenis dan intensitas.
Minat
seseorang meskipun diajar oleh guru yang sama dan diberi pelajaran tapi antara
satu anak dan yang lain mendapatkan jumlah pengetahuan yang berbeda. Hal ini
terjadi karena berbedanya daya serap mereka dan daya serap ini dipengaruhi oleh
intensitas minat mereka.
d.
Minat yang terbentuk sejak kecil/masa kanak-kanak sering terbawa seumur hidup
karena minat membawa kepuasan.
Minat
menjadi guru yang telah membentuk sejak kecil sebagai misal akan terus terbawa
sampai hal ini menjadi kenyataan. Apabila ini terwujud maka semua suka duka
menjadi guru tidak akan dirasa karena semua tugas dikerjakan dengan penuh
sukarela. Dan apabila minat ini tidak
terwujud maka bisa menjadi obsesi yang akan dibawa sampai mati.[13]
Dalam
hubungannya dengan pemusatan perhatian, minat mempunyai peranan dalam
“melahirkan perhatian yang serta merta, memudahkan terciptanya pemusatan
perhatian, dan mencegah gangguan perhatian dari luar.”[14]
Oleh
karena itu minat mempunyai pengaruh yang besar dalam belajar karena bila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa maka siswa tersebut
tidak akan belajar dengan
sebaik-baiknya, sebab tidak ada daya tarik baginya. Sedangkan bila bahan
pelajaran itu menarik minat siswa, maka ia akan mudah dipelajari dan disimpan
karena adanya minat sehingga menambah kegiatan belajar.
Fungsi
minat dalam belajar lebih besar sebagai
motivating force yaitu sebagai kekuatan yang mendorong siswa untuk
belajar. Siswa yang berminat kepada pelajaran akan tampak terdorong terus untuk
tekun belajar, berbeda dengan siswa yang sikapnya hanya menerima pelajaran. Mereka
hanya tergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus tekun karena tidak
ada pendorongnya. Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil yang baik dalam belajar
seorang siswa harus mempunyai minat terhadap pelajaran sehingga akan mendorong
ia untuk terus belajar.
B. Macam-Macam Minat
- Pengertian
Belajar
Beberapa
ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang “belajar”. Dan
sering kali rumusan dan tafsiran mereka itu berbeda satu sama lain. Dalam
uraian berikut ini diperkenalkan beberapa rumusan tentang belajar guna
melengkapi dan memperluas pandangan.
Belajar
menurut bahasa adalah “usaha (berlatih) dan sebagai upaya mendapatkan
kepandaian”.[15]
Sedangkan menurut istilah yang dipaparkan oleh
beberapa ahli, di antaranya oleh Ahmad
Fauzi yang mengemukakan belajar adalah “Suatu proses di mana suatu tingkah laku ditimbulkan atau
diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi (atau rangsang) yang
terjadi”.[16]
Kemudian
Slameto mengemukakan pendapat dari Gronback yang mengatakan “Learning is show
by a behavior as a result of experience”.[17]
Selanjutnya
Moh.Uzer Usman dan Lilis Setiawati mengartikan “belajar sebagai perubahan
tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan
individu dan individu dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu
berinteraksi dengan lingkungannya”.[18]
Nana
Sudjana mengatakan “belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah mereaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang
diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar
adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.”[19]
“Belajar dalam arti yang luas ialah proses
perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan
penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan
kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi,
dlaam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.”[20]
Belajar
itu selalu menunjukkan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang
berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.
Menurut
Matlin dan Meyers (dalam Reni Akbar Hawadi, 2006:168) belajar adalah suatu perubahan
tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman. Morgan dan
kawan-kawan (dalam Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:14) menyebutkan belajar
adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil
latihan atau pengalaman.
Belajar
adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.[21] Proses
belajar merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar atau mahasiswa
untuk mengerti suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui. Seseorang yang
melakukan kegiatan belajar dapat disebut telah mengerti suatu hal, bila ia juga
dapat menerapkan apa yang telah ia pelajari.[22]
Belajar
merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mengarah kepada tingkah laku
yang lebih baik yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. Perubahan tingkah
laku karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik psikis maupun
pisik, seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir,
keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
“Good
dan Brophy dalam bukunya Educational Psychologi: A Realistic Approch, yang
dikutip Ngalim M. Purwanto mengemukakan arti belajar dengan kata-kata yang
singkat, yaitu Learning is the development of new associations as a result
of experience.”[23]
Baharudin
dan Esa Nur Wahyuni (2007:13) menyebutkan belajar memiliki pengertian
memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat,
menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan.
Dari
beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu
dari hasil pengalaman dan latihan.
Perubahan
tingkah laku tersebut, baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif),
keterampilannya (psikomotor), maupun sikapnya (afektif). Pengalaman itu diperoleh dengan cara menguasai
pengetahuan, mengingat dan mendapatkan informasi atau menemukan informasi.
- Teori-teori
Belajar
Menurut
Gagne, belajar adalah kegiatan yang kompleks. Belajar menurutnya, adalah
seperangkat kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melalui
pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.[24]
Menurut
Piaget bahwa belajar adalah sebuah proses interaksi anak didik dengan
lingkungan yang selalu mengalami perubahan dan dilakukan secara terus-menerus. Dengan
adanya interaksi dengan lingkungan tersebut, maka fungsi intelek semakin berkembang.[25]
“Menurut Roger belajar adalah sebuah proses
internal yang menggerakkan anak didik agar menggunakan seluruh potensi
kognitif, afektif dan psikomotoriknya agar memiliki berbagai kapabilitas
intelektual, moral, dan keterampilan lainnya. Dalam hubungan ini, Roger
mengkritik praktik pendidikan yang menitikberatkan pada segi pengajaran yang
berpusat pada guru, danbukan berpusat pada siswa. Menurutnya, bahwa belajar
harus berpusat pada siswa (student centris)”.[26]
Teori
Psikologi Klasik tentang Belajar
Menurut
teori ini manusia terdiri dari jiwa (mind) dan badan (body) atau
zat (matter). Jiwa dan zat ini berbeda satu sama lain. Hakikat belajar
adalah all learning is a process of developing or training of mind.[27]
Teori
psikologi Daya (Faculty Psychology) dan belajar
Teori
Mental State
Teori
Psikologi Behaviorisme dan Belajar
Teori
Connectionism dan Hukum-hukum Belajar
Teori
Psikologi Gestalt tentang Belajar
Teori
Psikologi Field Theory tentang Belajar
Gaya
belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berpikir,
memproses, dan mengerti suatu informasi. Menemukan gaya belajar adalah kunci
dalam mencapai cita-cita. Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari
bagaimana menyerap dan mengatur serta mengolah informasi. Bila gaya belajar
sudah dikenali, langkah-langkah penting dapat diambil untuk membantu agar anak
dapat belajar dengan cepat dan lebih mudah. Hasil menunjukkan bahwa murid yang
belajar dengan menggunakan gaya belajar yang mereka sukai akan mencapai nilai
yang jauh lebih tinggi dibandingkan bila mereka belajar dengan cara yang tidak
sesuai dengan gaya belajarnya.
Ada
beberapa tipe gaya belajar yang bisa kita cermati dan mungkin kita ikuti
apabila memang kita merasa cocok dengan gaya itu.
- Gaya Belajar Visual (Visual
Learners)
Gaya
belajar seperti ini menjelaskan bahwa kita harus melihat dulu buktinya untuk
kemudian bisa mempercayainya. Gaya belajar ini biasanya mengunakan beragam
bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran.[28]
- Gaya Belajar Auditory
Learners
Gaya
belajar Auditory Learners adalah gaya belajar yang mengandalkan pada
pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar
sepserti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap
informasi atau pengetahuan.[29]
- Gaya Belajar Tactual
Learners
Dalam
gaya belajar ini kita harus menyentuh sesuatu yang memberikan informasi
tertentu agar kita bisa mengingatnya.
Menurut
Tim penyusun kamus besar Pusat Pembinaan dan Bahasa (1999:787) pengertian
prestasi belajar adalah Penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau
angka nilai yang diberikan oleh guru.
Menurut
Linawati (dalam Reni Akbar Hawadi, 2006:168) prestasi belajar adalah hasil
penilaian guru terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan
tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan
dari siswa.
Berdasarkan
pendapat di atas prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa yang
diberikan oleh guru terhadap proses dan hasil belajar yang menyangkut isi
pelajaran dan perilaku siswa yang biasanya ditunjukkan dengan nilai tes atau
nilai angka yang diberikan oleh guru.
Banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,faktor-faktor tersebut
diantanya adalah metode pengajaran di sekolah. Didalam metode pengajaran
terdapat banyak sekali model-model pembelajaran yang bisa digunakan untuk
membuat siswa menjadi aktif dan kreatif sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Dengan penggunaan model pembelajaran yang tepat pada suatu pokok
bahasan akan mempercepat penguasaan siswa terhadap pokok bahasan tersebut.
E. Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar di sekolah, adalah masalah-masalah yang harus
dipelajari oleh setiap guru dalam usahanya untuk membina proses belajar. Adapun
faktor-faktor tersebut ialah:
1. Faktor Murid
a. Taraf intelegensi
Intelegensi, dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi, yang mana: “berpikir” main
peranan sangat menentukan.
b. Motivasi belajar
Motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak yang mampu menimbulkan
kesemangatan/kegairahan belajar.
Adapun bentuk-bentuk
dari motivasi belajar itu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1).
Motivasi intrinsik: bentuk motivasi atau kesediaan untuk belajar karena
terdorong oleh rasa ingin tahu.
2).
Motivasi ekstrinsik: bentuk motivasi/kesediaan untuk belajar karena terdorong
oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu.
c. Perasaan, sikap dan minat
Perasaan merupakan faktor
psikis non intelektual yang sangat berpengaruh terhadap kegairahan belajar.
Dengan perasaannya, anak akan mengadakan penilaian terhadap
pengalaman-pengalaman belajar di sekolah. Penilaian yang positif akan
menimbulkan perasaan senang, aman, bahagia, puas, simpati dan lainnya.
Sedangkan penilaian yang negatif akan menimbulkan perasaan resah, kecewa,
gelisah, enggan dan takut.
d. Kesehatan fisik dan psikis
Kondisi fisik dan psikis
yang sehat sangatlah berpengaruh positif terhadap kegiatan belajar. Namun
sebaliknya, kesehatan yang sering terganggu akan menghilangkan minat dan
menghambat proses belajar mengajar.
Kondisi fisik atau
jasmani siswa saat mengikuti pelajaran sangat berpengaruh terhadap minat dan
aktivitas belajarnya. Faktor kesehatan badan, seperti kesehatan yang prima
dan tidak dalam keadaan sakit atau
lelah, akan sangat membantu dalam memusatkan perhatian terhadap pelajaran.
Sebab belajar memerlukan kegiatan mental yang tinggi, menuntut banyak perhatian dan pikiran jernih.
Oleh karena itu apabila siswa mengalami kelelahan atau terganggu kesehatannya,
akan sulit memusatkan perhatiannya dan berpikir jernih.
e. Keadaan sosial ekonomi dan sosial
budaya
Keadaan ekonomi keluarga
yang cukup/mewah, sering kali mengakibatkan kemunduran belajar, dan kedewasaan
yang terlambat. Hal ini dikarenakan anak sering dimanja dan semua kebutuhannya
selalu terpenuhi. Akibatnya anak akan menjadi malas belajar, nakal, dan lain
sebagainya. Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga yang lemah ekonominya,
sering jauh lebih rajin belajar, namun ada juga anak yang merasa minder belajar
bersama dengan anak-anak yang kaya.
Perasaan minder yang demikian akan mengganggu kegiatan dan keberhasilan belajar
anak.
Keadaan sosial budaya
yang tinggi dapat menciptakan kondisi yang menunjang kegiatan belajar anak di
sekolah. Sedangkan anak yang hadir dari lingkungan kebudayaan yang rendah,
banyak menemukan kebiasaan-kebiasaan di rumah yang tidak sama/berlawanan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang ada di sekolah. Hal demikian itu juga berpengaruh
terhadap kegiatan belajar.
Pengalaman
belajar sangat berkaitan dengan kemampuan awal (entry behavior). Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Bloom, “kemampuan awal adalah pengetahuan, keterampilan
dan kompetensi, yang merupakan prasyarat yang dimiliki untuk dapat mempelajari suatu pelajaran baru
atau lebih lanjut.”[30]
Setiap
siswa masing-masing telah memiliki berbagai pengalaman belajar yang
berbeda-beda yang diperolehnya di jenjang pendidikan sebelumnya. Hal tersebut
merupakan modal awal bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar selanjutnya.
Pengalaman
belajar yang telah dimiliki oleh siswa besar pengaruhnya terhadap minat
belajar. Pengalaman tersebut menjadi dasar untuk menerima pengalaman-pengalaman
baru yang akan sangat membantu dalam minat belajar siswa. Sebagai contoh,
seseorang siswa akan sangat mudah dalam menguasai dan memahami materi pelajaran
Agama, karena ia telah memahami dan
menguasai dengan baik materi pelajaran Agama sewaktu di SD/MI. Jadi, dapat
dipahami bahwa pengalaman belajar Agama di jenjang pendidikan sebelumnya turut
berpengaruh terhadap belajar siswa, terutama
dalam mata pelajaran Agama.
2. Faktor Guru
Kiranya tidak perlu
dipersoalkan lagi bahwa guru merupakan faktor penting bagi keberhasilan seorang
anak itu melakukan kegiatan belajar.
a.
Metode dan gaya mengajar guru Agama
Metode
dan gaya mengajar guru juga memberi pengaruh terhadap minat siswa dalam belajar
Agama. Oleh karena itu hendaknya guru dapat menggunakan metode dan gaya
mengajar yang dapat menumbuhkan minat dan perhatian siswa. Dominikus Catur Raharja menyatakan: Guru
adalah kreator proses belajar mengajar. Guru adalah orang yang akan
mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik
minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas
norma-norma yang ditegakkan secara konsisten.[31]
Cara
penyampaian pelajaran yang kurang menarik menjadikan siswa kurang berminat dan
kurang bersemangat untuk mengikutinya. Namun sebaliknya, jika pelajaran
disampaikan dengan cara dan gaya yang menarik perhatian, maka akan menjadikan
siswa tertarik dan bersemangat untuk
selalu mengikutinya dan kemudian mendorongnya untuk terus mempelajarinya. Cara
seorang guru dalam menyampaikan pelajaran sangat terkait dengan tipe atau
karakter kepribadiannya, seperti yang di
kemukakan Muhibin Syah, sebagai berikut:
1) Guru
yang otoriter (Autoriterian)
Secara
harfiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Dalam PBM,
guru yang otoriter mengarahkan dengan keras segala aktivitas para siswa tanpa
dapat ditawar-tawar. Hanya sedikit sekali kesempatan yang diberikan kepada
siswa untuk berperan serta memutuskan terbaik untuk kepentingan belajar mereka,
sehingga antara guru dan murid tidak
terdapat hubungan yang akrab.
2)
Guru Laissez-Faire (Lezeifee)
Padanannya
adalah individualisme (paham yang menghendaki kebebasan pribadi). Guru yang
berwatak ini biasanya gemar mengubah
arah dan cara pengelolaan PBM secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa
dalam mempersiapkan diri. Sebenarnya guru tersebut tidak menyenangi profesinya
sebagai tenaga pendidik meskipun ia memiliki kemampuan yang memadai.
3)
Guru yang demokratis (Democratie)
Arti
demokratis adalah bersifat demokratis yang pada intinya mengandung makna
memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang. Guru yang memiliki sifat
ini pada umumnya dipandang sebagai guru yang paling baik dan ideal. Alasannya, dibanding dengan guru yang lainnya
guru tipe demokratis lebih suka bekerjasama dengan rekan-rekan seprofesinya,
namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Ditinjau dari sudut hasil
pengajaran, guru yang demokratis dengan yang otoriter tidak jauh berbeda. Akan
tetapi dari sudut moral, guru yang demokratis lebih disenangi oleh rekan-rekan
sejawatnya maupun oleh para siswanya sendiri.
4)
Guru yang otoritatif (Authoritative)
Otoritatif
berarti berwibawa karena adanya kewenangan baik berdasarkan kemampuan maupun
kekuasaan yang diberikan. Guru yang otoritatif adalah guru yang memiliki
dasar-dasar pengetahuan baik pengetahuan bidang studi faknya maupun pengetahuan
umum. Guru seperti ini biasanya ditandai oleh kemampuan memerintah secara
efektif kepada para siswa dan kesenangan mengajak kerja sama kepada para siswa
bila diperlukan dalam mengikhtiarkan cara terbaik untuk penyelenggaraan PBM.
Dalam
hal ini, guru ini hampir sama dengan guru yang demokratis. Namun, dalam hal
memerintah atau memberi anjuran, guru yang otoritatif pada umumnya lebih
efektif, karena lebih disegani oleh para siswa dan dipandang sebagai pemegang
otoritas ilmu pengetahuan paknya.[32] Di
samping itu, metode yang digunakan dalam menyampaikan pelajaran besar pula
pengaruhnya terhadap minat belajar siswa.
Apabila guru hanya menggunakan satu metode saja dalam
mengajar maka akan membosankan, yang akhirnya siswa tidak tertarik
memperhatikan pelajaran. Jadi hendaknya guru dapat menggunakan berbagai metode mengajar yang
bervariasi sesuai dengan tujuan pembelajaran.
b.
Tersedianya fasilitas dan alat penunjang pelajaran Agama Fasilitas dan
alat dalam belajar memiliki peran
penting dalam memotivasi minat siswa pada suatu pelajaran. Tersedianya
fasilitas dan alat yang memadai dapat memancing minat siswa pada mata pelajaran
Agama.
Fasilitas dan alat penunjang pelajaran Agama yang dimaksud di sini bisa berupa :
•
Alat dan fasilitas yang digunakan bersama-sama dengan murid. Sebagai contoh,
papan tulis, kapur tulis/spidol, ruangan kelas dan sebagainya.
•
Alat yang dimiliki oleh masing-masing murid dan guru. Misalnya : alat tulis,
buku pelajaran Agama, buku pengangan guru dan lain sebagainya.
•
Alat peraga yang berfungsi untuk memperjelas atau memberi gambaran yang lebih
jelas tentang hal-hal yang diajarkan. Belajar dengan menggunakan fasilitas dan
alat lebih efektif dan lebih menyenangkan dibandingkan tanpa menggunakan alat
peraga atau hanya dengan teori saja.
c.
Situasi dan kondisi lingkungan Situasi dan kondisi lingkungan turut memberi
pengaruh terhadap minat belajar siswa dalam pelajaran. Faktor situasi dan
kondisi lingkungan yang dimaksud di sini adalah faktor situasi dan kondisi saat
siswa melakukan aktivitas belajar Agama di sekolah, baik fisik ataupun
sosial. Faktor kondisi lingkungan fisik
termasuk di dalamnya adalah seperti keadaan suhu, kelembaban, kepengapan udara,
pencahayaan dan sebagainya. Belajar Agama
pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya dari pada belajar dalam
keadaan udara yang panas dan pengap, atau belajar pagi hari akan lebih baik
dari pada belajar siang hari. Jadi, minat dan perhatian siswa akan lebih baik
jika jam pelajaran Agama di letakkan di pagi hari.
Di
samping itu, pengaturan cahaya yang kurang baik
dapat mengganggu proses pembelajaran Agama di dalam kelas. Karena cara mengajar dan sistem
pengajaran pada umumnya sangat banyak menggunakan penglihatan dan pendengaran.
Sedangkan faktor kondisi lingkungan sosial dapat berupa manusia atau hal-hal
lainnya. Misalnya siswa yang sedang belajar memecahkan soal Agama yang rumit
dan membutuhkan konsentrasi tinggi, akan terganggu apabila ada siswa lain yang
mondar-mandir di dekatnya atau bercakap-cakap keras di dekatnya.
Kondisi
lingkungan sosial yang lain, seperti suara
mesin pabrik, hiruk-pikuk lalu lintas, gemuruh pasar dan sebagainya,
juga berpengaruh terhadap konsentrasi dan perhatian siswa saat belajar Agama.
Karena itulah disarankan hendaknya lingkungan sekolah agar didirikan jauh dari
pabrik, keramaian lalu lintas dan pasar.
F. Pengertian Kitab Kuning (Kitab
Salafiyyah)
Kata
“kitab” itu dari bahasa Arab, artinya buku.[33] Kitab
kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang
biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab
kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Mengenai
warna kertas ini, beberapa
Adapun
dari sisi materi yang termuat di dalam kitab kuning itu, sebenarnya sangat
beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits,
imu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang
tercampur dengan dongeng. Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama
dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang ini.
Secara
umum, keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil karya ilmiyah
para ulama di masa lalu. Salah satunya adalah kitab fiqih, yang merupakan hasil
kodifikasi dan istimbath hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Para
santri dan pelajar yang ingin mendalami ilmu fiqih, tentu perlu merujuk kepada
literatur yang mengupas ilmu fiqih. Dan kitab kuning itu, sebagiannya,
berbicara tentang ilmu fiqih.
Sedangkan
ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat vital untuk mengambil kesimpulan hukum dari
dua sumber asli ajaran Islam. Boleh dibilang bahwa tanpa ilmu fiqih, maka
manfaat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hilang. Sebab manusia bisa dengan
seenaknya membuat hukum dan agama sendiri, lalu mengklaim suatu ayat atau
hadits sebagai landasannya.
Padahal
terhadap Al-Quran dan Al-Hadits itu kita tidak boleh asal kutip seenaknya.
Harus ad kaidah-kaidah tertentu yang dijadikan pedoman. Kalau semua orang bisa
seenaknya mengutip ayat Quran dan hadits, lalu kesimpulan hukumnya bisa ditarik
kesana kemari seperti karet yang melar, maka bubarlah agama ini. Paham sesat
seperti liberalisme, sekulerisme, kapitalisme, komunisme, bahkan atheisme
sekalipun, bisa dengan seenak dengkulnya mengutip ayat dan hadits.
Maka
ilmu fiqih adalah benteng yang melindungi kedua sumber ajaran Islam itu dari
pemalsuan dan penyelewengan makna dan kesimpulan hukum yang dilakukan oleh
orang-orang jahat. Untuk itu setiap muslim wajib hukumnya belajar ilmu fiqih,
agar tidak jatuh ke jurang yang menganga dan gelap serta menyesatkan.
Salah
satu media untuk mempelajari ilmu fiqih adalah dengan kitab kuning. Sehingga
tidak benar kalau dikatakan bahwa kitab kuning itu menyaingi kedudukan
Al-Quran. Tuduhan serendah itu hanya datang dari mereka yang kurang memahami
duduk masalahnya.
Namun
bukan sebuah jaminan bahwa semua kitab kuning itu berisi ilmu-ilmu syariah yang
benar. Terkadang dalam satu dua kasus, kita menemukan juga buku-buku yang
kurang baik yang ditulis dengan format kitab kuning. Misalnya buku tentang
mujarrobat, atau buku tentang ramalan, atau tentang doa-doa amalan yang tidak
bersumber dari sunnah yang shahih, atau cerita-cerita bohong yang bersumber
dari kisah-kisah bani Israil , juga ditulis dalam format kitab kuning.
Jenis
kitab kuning yang seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari
ilmu-ilmu keIslaman yang benar. Dan kita harus cerdas membedakan matreri yang
tertuang di dalam media yang sekilas mungkin sama-sama sebagai kitab kuning.
Dan pada hakikatnya, kitab kuning itu hanyalah sebuah jenis pencetakan buku,
bukan sebuah kepastian berisi ilmu-ilmu agama yang shahih. Sehingga kita tidak
bisa menggeneralisir penilaian kita tentang kitab kuning itu, kecuail setelah
kita bedah isi kandungan materi yang tertulis di dalamnya.
Kitab
Kuning pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,
menggunkan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ‘ulama dan pemikir Muslim
lainnya di masa lampau khususnya yang berasal dari Timur Tengah.[34] Kitab
Kuning mempunyai format sendiri yang khas, dan warna kertas
“kekuning-kuningan”.
Namun
demikian, kitab kuning mempunyai arti yang lebih luas yaitu kitab-kitab
keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa local lain di
Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ‘ulama di
Timur Tengah, juga ditulis oleh ‘ulama Indonesia sendiri.
Kitab kuning adalah kitab klasik yang ditulis pada
beberapa abad yang lalu dalam huruf Arab yang dipakai di lingkungan pesantren.
Kitab tersebut disebut “kitab kuning” karena kertas dari kitab berwarna kuning,
kitab itu dibawa dari Timur Tengah.[35]
Dalam khazanah kitab kuning biasa dikenal kitab matan
(inti), syarh (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir). Hal
ini untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan standar. Sebagai
contoh, matan kitab taqrib diberi syarh dalam kitab Fath al-Qarib, yang pada
gilirannya diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri. Ulama pesantren yang
melakukan tradisi ini misalnya syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai
Soleh Darat al-Samarangi, dan Syekh Yasin al-Padangi. Syekh Mahfudh al-Tarmasi,
misalnya, menulis hasyiyah kitab Mauhibah.
Tradisi ini juga mengindikasikan sejarah panjang
keilmuan antara seorang ulama dengan para muridnya yang melintasi berbagai
generasi. Misalnya dalam lingkup mazhab Maliki, para murid Imam Maliki
mempercayai Abd al-Rahman ibn Qasim sebagai salah satu murid terbaik dari Imam
Malik.
“ Kitab tersebut sepanjang hari
diajarkan kepada para santri secara berulang-ulang sehingga mereka mempunyai
pemahaman dan kemampuan (al-fahm wa al-malakata) terhadap syariat dan hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya. Kitab ini amat penting bagi mereka yang nantinya
menjadi pemimpin, tokoh, bahkan barangkali ulama. Pemahaman terhadap hukum
islam merupakan salah satu prasyarat utama. Karena itu, kitab ini begitu
penting diajarkan kepada para santri sehingga mereka mempunyai pengetahuan dan
pemahaman yang komprehensif terhadap hukum Islam.”
“Keindahan mutiara-mutiara yang keluar dari mulut mereka tentu tak
lepas dari maraji’ dan literature yang mengelilinginya. Al-Qur’an dengan
segala ragam ilmu tafsirnya, segudang kitab hadits dengan syarah dan catatan
pinggirnya, dan jutaan lembar kitab-kitab kuning yang selalu mereka geluti
bersama para santri.”
Di antara sekian banyak hal yang menarik dari pesantren yang tidak
terdapat di lembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada
kitab-kitab salaf (klasik), yang sekarang ini terintroduksi secara popular
dengan sebutan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang
kitab-kitab itu dicetak di atas kertas
berwarna kuning, meskipun sudah banyak dicetak ulang pada kertas putih. Kuning
memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata.
Kitab kuning memang menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning,
melainkan karena kitab itu mempunyai cirri-ciri melekat, yang untuk memahaminya
memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa
Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih
kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara
persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning tidak
dapat berbahasa Arab.
Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya
sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar, kemudian
berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil.
Misalnya kitabun, kemudian berturut-turut babun, fashlun, far’un dan
seterusnya. Sering juga dipakai kerangka muqaddimah dan khatimah.
Bahkan tidak sedikit yang pada awal pembahasannya diuraikan sepuluh mabadi’
(mabadi’ ‘asyrah) yang perlu diketahui oleh setiap yang mempelajari suatu
ilmu tertentu.
Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak
menggunkan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda
Tanya, dan lain sebagainya. Subjek dan predikat sering dispisahkan dengan jumlah
mu’taridhah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Ciri inilah
yang sangat memerlukan kecermatan dan keterampilan agar pembaca memahami makna
dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikannya secara
tertulis.
Masih ada ciri lain khusunya yang terdapat pada
kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i. Pada kitab-kitab ini selalu digunakan istilah
(idiom) dan rumus-rumus tertentu. Misalnya, untuk menyatakan pendapat yang kuat
dipakai kalimat al-madzhab, al-ashah, as-shahih, al-arjah, ar-rajih, dan
seterusnya. Misalnya lagi untuk mengatakan kesepakatan antarulama beberapa
madzhab digunakan ijma’an dan untuk menyatakan kesepakatan intern ulama
satu madzhab digunakan kalimat ittifaqan. Padahal kedua kata tersebut
mempunyai arti yang sama menurut bahasa.
G. Sejarah Kitab Kuning
Penelitian
van den Berg tentang buku-buku yang digunakan di lingkungan pesantren di Jawa
dan Madura pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ‘ulama
Timur Tengah sejak abad 9 dan seterusnya; tetapi ini tidak berarti bahwa
kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab tersebut
ditulis pengarangnya atau penyalinnya di Timur Tengah.[36]
Momentum
pembentukan kitab kuning di Indonesia, saya kira menemukan momentum terkuatnya
sejak awal abad ke 19, yakni ketika pesantren-pesantren, surau-surau dan
pondok-pondok mulai berkembang dan mapan sebagai institusi pendidikan Islam
tradisional di berbagai daerah Nusantara.[37]
Materi yang dipelajari di pesantren berupa buku-buku
yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis, tetapi penyampaian secara lisan
oleh para kiai, sangat penting. Proses belajar mengajarnya adalah beberapa
santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks
buku baris demi baris dan menerjemahkannya ke dalam bahasa pengantar
(tergantung pada daerahnya, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah
(komentar seperlunya). Buku-buku yang dipelajari biasanya di cetak di Mekkah,
Kairo, dan Istambul.
“Banyak dari teks ini ditulis oleh tokoh-tokoh Arab
atau timur Tengah yang terkemuka abad XII dan XIII, atau sebelumnya. Akan
tetapi, sebagian dari penulisnya adalah orang Melayu dan Jawa.”
H. Isi Kitab Kuning
Namun,
pada tingkat yang lebih praktis, hampir seluruh kitab kuning yang ditulis para
‘ulama atau pemikir Indonesia selain mendasarkan diri pada ketiga sumber
tersebut, juga berpijak pada hasil-hasil pemikiran ‘ulama yang diakui
otoritasnya.[38]
Kitab
kuning berisi berbagai macam ilmu dari bidang tauhid, fiqh, ilmu bahasa,
sejarah, ilmu sosial, ilmu perbintangan, ilmu binatang dan lain sebagainya.
Misalnya
al-Raniri (w. 1068/1658) dengan kitab fiqh ibadahnya berjudul Sirat
al-Mustaqim, dan ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (w. 1105/1690) dengan kitab fiqh
mu’amalahnya berjudul Minhaj al-Thullab.[39]
“Materi yang disampaikan
kepada para santrinya ialah ilmu tasawuf dan tafsir. Dalam bidang tasawuf,
kitab yang diajarkan adalah Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Kitab ini
adalah kitab babon dan sangat popular di kalangan pesantren karena kitab ini
merupakan ilmu yang menghubungkan hokum Islam dengan tata hati. Pesannya adalah
setiap hal yang dilakukan setiap orang, tetapi tidak dimulai dengan hati yang
bersih dan tenang, maka hal tersebut akan sia-sia, termasuk di dalamnya
ibadah.”
“Adapun dalam bidang
tafsir, yang diajarkan adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir.
Kitab ini juga sangat popular di lingkungan pesantren, di samping kitab Tafsir
al-Jalalayn. Kitab ini dikenal sederhana dan mudah dipahami ketimbang tafsir Mafatih
al-Ghayb karya Imam Fakhruddin al-Razi.”
Dalam praktiknya, kitab kuning dapat digunakan sebagai
alat komunikasi cultural dalam rangka membangun solidaritas. Di sinilah salah
satu keistimewaan kitab kuning karena tidak berbicara dalam konteks perebutan
kekuasaan. Ini berbeda dengan nalar keagamaan kelompok lain yang tidak
mempunyai basis kitab kuning saat agama kerap kali diidentikkan dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, salah satu keberhasilan kalangan
pesantren yang memedomani kitab kuning adalah komitmen untuk membangun umat,
bukan komitmen untuk merebut kekuasaan.
Kitab kuning bukanlah kitab yang mengajarkan tentang
kekerasan dan terorisme. Kitab kuning adalah kitab tentang kehidupan, baik yang
berkaitan dengan ibadah maupun amal social. Siapa pun yang mempelajarinya akan
menguiasai ilmu agama dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Sumber utama pembelajaran dan bimbingan bagi Islam
tradisionalis, selain al-Qur’an dan sunnah, adalah kitab kuning. Kitab kuning
merupakan kumpulan bermacam-macam teks berbahasa Arab yang dianggap penting
bagi pendidikan dasar Islam. Kitab ini meliputi juga buku-buku mengenai hal-hal
yang bersifat duniawi, seperti tata bahasa Arab. Termasuk di dalam kategori
Kitab Kuning adalah komentar-komentar standar atas Al-Qur’an (tafsir) dari
zaman pertengahan dan teks-teks klasik tasawuf atau mistisisme. Di dalamnya juga berisi bimbingan
untuk ibadah, dan banyak lagi yang lainnya. Satu bagian dari kitab kuning
berkaitan dengan masalah-maslaah masyarakat. Biasanya terdapat perbedaan antara
dua jenis buku. Yang pertama adalah buku-buku agama yang bertautan dengan hokum
Islam, biografi Nabi Muhammad, tasawuf, moralitas, dan penafsiran Al-Qur’an dan
sunnah. Kenis buku yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan ilmu-ilmu
instrument, seperti astronomi, biologi, matematika, dan logika.”
I. Macam-macam Kitab Kuning
Di tempat itu, mereka biasanya mulai mempelajari
bahasa Arab, usul dan fiqh yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab. Fiqh
mempelajari bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan ibadah haji.
Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari peraturan nikah, talak, dan rujuk,
serta hukum warisan (faraidh).[40]
Kitab kuning di pesantren sebenarnya tidak hanya
mencakup ilmu-ilmu tafsir, ‘ulum at-tafsir, asbab an-nuzul, hadits, ‘ulum
al-hadits, asbab al-wurud, fiqh, qawa’id al-fiqhiyah, tauhid, tasawuf, nahwu,
sharaf, dan balaghah saja. Lebih dari itu-meskipun hanya sebagai referensi
kepustakaan pesantren-kitab kuning mencakup ilmu-ilmu mantiq, falak, faraidh,
hisab, adab al-bahtsi wa al-munazharah (metode diskusi), thibb, hayah
al-hayawan, tarikh, thabaqat (biodata) para ulama, bahkan sudah ada
katalogisasi atau anotasinya. Misalnya kitab Kasyfu adz-dzumun fi Asma’I Kutubi
al-Funun.
J. Metode minat dalam mempelajari Kitab
Kuning
Pendidikan
dan pengajaran kitab kuning pada dasarnya hamper sama dengan pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan di sekolah formal. Akan tetapi, metode yang digunakan
biasanya mempunyai bentuk tersendiri yang khas sejak dulu. Metode-metode
tersebut antara lain:
a. Weton/bandongan
Istilah weton ini
berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian
tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah
melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para
santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan
pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat
catatan padanya. Istilah weton ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.
b. Sorogan
Berasal dari kata sorog
(bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan
kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya (asisten kyai). Sistem sorogan ini
termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan
seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem
sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid
yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru
mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri
dalam menguasai bahan setara materi pelajaran.
“Selain weton, ada pula
system sorogan. Sorogan dilaksanakan sekali seminggu secara bersamaan dari
semua tingkatan kitab, yang meliputi kitab dasar, kitab menengah, dan kitab
tinggi. Kitab dasar dan kitab menengah dibimbing oleh beberapa guru senior,
sedangkan kitab tinggi dibimbing langsung oleh KH. Badri Masduqi.
Pelaksanaannya adalah setiap hari, selain hari
Jum’at, kira-kira setengah jam sebelum masuk waktu shalat magrib.”
c. Halaqah
Sistem ini merupakan
kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran
murid, atau sekelompok siswa yang belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah
ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab/materi pelajaran.
d. Hafalan
Metode hafalan yang
diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab
tertentu, juga sering dipakai untuk menghafal al-Qur’an, baik surat-surat
pendek maupun secara keseluruhan, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di
depan kyai/ustadznya.
Materi yang dipelajari
di pesantren berupa buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis,
tetapi penyampaian secara lisan oleh para kiai, sangat penting. Proses
belajar-mengajarnya adalah beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah
bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks buku baris demi baris dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa pengantar ( tergantung pada daerahnya, seperti
Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah (komentar seperlunya). Buku-buku yang
dipelajari biasanya dicetak di Mekkah, Kairo, dan Istambul. Setelah santri menamatkan
kitab tertentu, mereka memperoleh ijazah, setelah itu mereka dapat berpindah ke
pesantren lain untuk mempelajari kitab lain. Banyak kiai terkenal menjadi ahli
sejumlah kitab tertentu, kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab kuning.
Proses mengajarkan kitab
kuning di pesantren melalui dua tahap. Tahap pertama dengan menggunakan metode utawi
iki iku dengan rumus huruf mim dan kha’, dan seterusnya, untuk menguraikan
arti tiap kalimat dan huruf-huruf yang bermakna, sekaligus juga menguraikan
kedudukan tarkib dari sudut kaidah nahwu dan sharafnya. Tahap berikutnya adlaah
penjelasan dan ulasan dari isi kandungannya secara tekstual-harfiah
(letterlijk) maupun sampai dengan pengertian-pengertian di baliknya (mafhumat).
Tahap pertama yang
tradisional itu, meskipun kelihatan agak rumit dan unik serta memakan waktu
cukup panjang, namun sangat menguntungkan para santri dan mempermudah
penangkapan kandungannya pada tahap berikutnya. Karena untuk mengetahui dan
memahami kandungan dari sebuah ungkapan kitab kuning secara benar, sangat
bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf
bermakna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, lengkap dengan
konteks-konteksnya.
Sedangkan tahap kedua
merupakan penjabaran tuntas secara analisis dari yang bersifat manthuqat
sampai dengan mafhumat. Bahkan sering juga pada kedua tahap itu, para
kiai pembaca kitab kuning merespon dengan alas an-alasan yang memperkuat
ungkapan itu sendiri, atau kadang-kadang menentang atau meluruskan yang
dipandang tidak benar atau tidak tepat, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh
ahli-ahli syarh dan hasyiyah.
Proses tersebut praktis
dan relative lebih cepat bila, misalnya dibandingkan dengan cara mengajarkan
kitab kuning di Masjidil Haram Makah. Di sana, seorang Syaikh pertama-tama
membaca seluruh lafal sampai batas tertentu, kemudian menguraikan arti
masing-masing kalimat, baru kemudian menerangkan kedudukannya menurut kaidah
nahwu-sharaf, seperti Imam al-Kafrawi menguraikan i’rab matan al-Jurumiyah.
Terakhir, baru menguraikan isi kandungannya panjang lebar.
Namun dengan cara
pesantren, para santri dapat secara aplikatif lebih memahami kaidah
nahwu-sharaf, dibandingkan denganbila pengajaran kitab dilakukan dengan metode
lepas, dengan penerjemahan langsung dan bebas. Lebih dari itu, para santri
dapat menghayati dan menumbuhkan dzauq al-‘arabiyah, yang sangat
mempengaruhi pemahaman atas nilai sastra yang dikandung Al-Qur’an.
Metode sorogan juga
sering dilakukan di pesantren. Prosesnya sama dengan di atas. Bedanya pada
K. Evaluasi minat dalam mempelajari
Kitab Kuning
Dibandingkan
dengan kegiatan yang lainnya, pengajian kitab kuninglah yang paling banyak
porsinya-sungguhpun pengajian ini sudah dilaksanakan di Madrasah Diniyah. Hal
ini karena, pertama kitab kuning merupakan jantung keilmuan para santri dan
terdiri dari banyak kitab yang beragam tingkatan dan pokok bahasannya.
Kejelian
dan kepekaan seperti di atas merupakan fenomena dan kecenderungan santri, lebih
mengutamakan kulit (tekstual) yang hanya terpaku pada bunyi nashsh kitab
kuning. Ketika masalah-masalah harus dipecahkan dan dicari jawabnya, maka masalah
itu diterik ke atas untuk disesuaikan dengan nashsh tersebut. Ini
membuat watak kitab kuning menjadi legalistik. Akibatnya, bila realitas masalah
tidak mungkin ditarik ke atas lalu dipending (mauquf).
Namun
lebih dari itu, munazharah tersebut dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat
menyusun konsep-konsep actual yang mampu menjadi rujukan yang memadai bagi
permasalahan social yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi
perubahan wawasan dari yang berdifat tekstual menjadi kontekstual.
Peningkatan
munazharah seperti ini tentu saja harus melibatkan berbagai disiplin
ilmu dan profesi, di samping para ahli kitab kuning. Ini tidak berarti mengubah
atau menghilangkan metode tradisional di atas, akan tetapi coba mengurangi fenomena
dan kecenderungan legalistik yang tumbuh akibat metode itu sendiri. Bila
peningkatan dimaksud tidak diupayakan, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat
pada keluasan kitab kuning cenderung melemah. Perkembangan wawasan social dan
kemajuan teknologi selalu menuntut konsepsi-konsepsi yang dapat menjadi
alternative pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi masyarakat maju
atau masyarakat berkembang.
Kajian
kitab kuning lalu tidak terbatas pada kalangan santri/pesantren, oleh, dan
untuk kalangan mereka saja. Dengan kata lain, kitab kuning dalam kajiannya akan
mampu berdialog dengan referensi ilmiah di luar pesantren. Pada gilirannya,
pesantren di tengah-tengah masyarakat modern ini, tetap tegar dan menjadi
kebutuhan.
[1]
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 583.
[2] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
h. 57.
[3]
Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1988), h. 76.
[4]
I. L. Pasaribu dan Simanjuntak, Proses Belajar
Mengajar, (Bandung: Tarsito, 1983), h. 52.
[5]
Zakiah Daradjat,dkk., Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet.1, h. 133.
[6]
Afifudin. SK.BA, Psikologi Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar (Surakarta: PT
1986), cet 1, 111
[7]
Sumadi Suryabrata, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 14.
[8]
Wasty Sumanto, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 32.
[9] Sumadi Suryabrata, Op.Cit., h. 66.
[11] Sardiman AM, Op.Cit., (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 73.
[12] Sumadi Suryabrata, Op.Cit., h. 32.
[13] Abdul Wahid, “Menumbuhkan Minat dan Bakat Anak” dalam
Chabib Toha (eds), PBMPAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar
Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 109-110.
[14]
The Liang Gie, Cara Belajar Yang Baik
Bagi Mahasiswa, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2004), h. 57.
[15]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 965.
[16]
Ahmad Fauzi, Psikologi Umum
Untuk, (Bandung: CV Pustaka Setia,2004),
Cet.ke-2, h. 44.
[17]
Slameto, Op.Cit., h. 2. 13
[18]
Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan belajar
mengajar, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), h. 4.
[19] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar,
(Bandung: Balai Pustaka, 1987), h. 28. 14
[20]
Tabrani Rusyan, dkk, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. 3, hlm 8
[21] ibid
[22] Drs. Ad
Rooijakkers, Mengajar Dengan Sukses (Jakarta: PT Grasindo, 1991), cet VIII, 14
[23]
Purwanto, M., Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya,
1999, h. 85
[24]
Dimyathi dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), cet. III, hlm. 10
[25]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2009), cet. I, hlm. 99
[26]
Ibid hlm. 101
[27] Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), cet.
3, hlm 35
[28] Hamzah
B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2008), cet. 3, hlm. 181
[29] Ibid
[30] H. Nashar, Peranan
Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Belajar Mengajar, (Jakarta: Delia
Press, 2004), Cet. ke-2, h. 64. 25
[31]
Dominikus Catur Raharja,
“Kesesuaian Pendidikan Bakat Menentukan Prestasi Siswa” , Penabur, XXVIII, 2
(Jakarta, 2001), h. 7. 26
[32]
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: Remaja Rosda Karya), h. 253.
[33]
Tradisi Orang-orang NU
[34]
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet IV, 111
[35] Marwati
Djoened Poesponegoro; Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta:
Balai Pustaka, 2008, hal 304
[36] Hal 112
[37] Hal 114
[38] Hal 115
[39] k
No comments:
Post a Comment