Saturday, 19 March 2016

BAB II Skripsi Berjudul "“MINAT SISWA DALAM MEMPELAJARI KITAB KUNING PADA SISWA KELAS VIII DI MADRASAH TSANAWIYYAH AL HIKAM DESA GEGER KECAMATAN GEGER KABUPATEN MADIUN TAHUN PELAJARAN 2010-2011”. STAI MADIUN

BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Minat
Secara bahasa minat berarti “kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.”[1] Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap  kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.
Sedangkan pengertian minat secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Hilgard yang dikutip oleh Slameto menyatakan “Interest is persisting tendency to pay attention to end enjoy some activity and content.”[2]
Sardiman A. M. berpendapat bahwa “minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan kebutuhannya sendiri.”[3]
 Sedangkan menurut I. L. Pasaribu dan Simanjuntak mengartikan minat sebagai “suatu motif  yang menyebabkan individu berhubungan secara aktif dengan sesuatu yang menariknya.”[4]
Selanjutnya menurut Zakiah Daradjat, dkk., mengartikan minat adalah “kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan sesuatu hal yang berharga bagi orang.”[5] Minat adalah kecenderungan untuk merasa tertarik atau senang terhadap suatu obyek. [6]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa, minat adalah kecenderungan seseorang terhadap obyek atau sesuatu kegiatan yang digemari yang disertai dengan perasaan senang, adanya perhatian, dan keaktifan berbuat.
Minat memiliki unsur-unsur yang terdapat di dalamnnya antara lain:
a. Perhatian
Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik, dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Menurut Sumadi Suryabrata “perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan.”[7]
Kemudian Wasti Sumanto berpendapat “perhatian adalah pemusatan tenaga atau kekuatan jiwa tertentu kepada suatu obyek, atau pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas.”[8]
Aktivitas yang disertai dengan perhatian intensif akan lebih sukses dan prestasinya pun akan lebih tinggi. Maka  dari itu sebagai seorang guru harus selalu berusaha untuk menarik perhatian anak didiknya sehingga mereka mempunyai minat terhadap pelajaran yang diajarkannya.
Orang yang menaruh minat pada suatu aktivitas akan memberikan perhatian yang besar. Ia tidak segan mengorbankan waktu dan tenaga demi aktivitas tersebut. Oleh karena itu seorang siswa yang mempunyai perhatian terhadap suatu pelajaran, ia pasti akan berusaha keras untuk memperoleh nilai yang bagus yaitu dengan belajar.

b. Perasaan
Unsur yang tak kalah pentingnya adalah perasaan dari anak didik terhadap pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Tiap aktivitas dan pengalaman yang dilakukan akan selalu diliputi oleh suatu perasaan, baik perasaan senang maupun perasaan tidak senang. Perasaan umumnya bersangkutan dengan  fungsi mengenal artinya perasaan dapat timbul karena mengamati,  menganggap, mengingat-ingat atau memikirkan sesuatu. 
Perasaan didefinisikan “sebagai gejala psikis yang bersifat  subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal dan dialami dalam kualitas senang atau tidak dalam berbagai taraf.”[9]
Yang dimaksud dengan perasaan di sini adalah perasaan senang dan perasaan tertarik. “Perasaan merupakan aktivitas psikis yang di dalamnya subjek menghayati nilai-nilai dari suatu objek.”[10]
Perasaan sebagai faktor psikis non intelektual, yang khusus berpengaruh terhadap semangat belajar. Jika seorang siswa mengadakan penilaian yang agak spontan melalui perasaannya tentang pengalaman belajar di sekolah, dan penilaian itu menghasilkan penilaian yang positif maka akan timbul perasaan senang di hatinya akan tetapi jika penilaiannya negatif maka timbul perasaan tidak senang.
  Perasaan senang akan menimbulkan minat, yang diperkuat dengan sikap yang positif. Sedangkan perasaan tidak senang akan menghambat dalam mengajar, karena tidak adanya sikap yang positif sehingga tidak menunjang minat dalam belajar.

c. Motif
Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan “sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan kreativitas tertentu  demi mencapai suatu tujuan.”[11]
 Menurut Sumadi Suryabrata, motif adalah “keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencari suatu tujuan.”[12]
Seseorang melakukan aktivitas  belajar karena ada yang mendorongnya. Dalam hal ini motivasi sebagai dasar  penggeraknya yang mendorong seseorang untuk belajar. Dan minat merupakan potensi psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk menggali motivasi bila seseorang sudah termotivasi untuk belajar, maka dia akan melakukan aktivitas belajar dalam rentangan waktu tertentu.
Ketiadaan minat terhadap suatu mata pelajaran menjadi pangkal penyebab kenapa anak didik tidak bergeming untuk mencatat apa-apa yang telah disampaikan oleh guru. Itulah sebagai pertanda bahwa anak didik tidak mempunyai motivasi untuk belajar. Oleh karena itu guru harus bisa membangkitkan minat anak didik.
Sehingga anak didik  yang pada mulanya tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada  sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar.  
Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini  merupakan pertanda bahwa sesuatu yang akan dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya. Dan segala sesuatu yang menarik minat orang tertentu selama sesuatu itu tidak bersentuhan dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, apa yang seseorang lihat sudah tentu membangkitkan minatnya  sejauh apa yang ia lihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. 
Jadi motivasi merupakan dasar penggerak yang mendorong aktivitas belajar seseorang sehingga ia berminat terhadap sesuatu objek, karena minat adalah alat motivasi dalam belajar.
Minat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi usaha yang dilakukan seseorang. Minat yang kuat akan menimbulkan usaha yang gigih serius dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi tantangan. Jika seorang siswa memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat dapat mengerti dan mengingatnya.
Elizabeth B. Hurlock menulis tentang fungsi minat bagi kehidupan anak sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Wahid sebagai berikut:
a. Minat mempengaruhi bentuk intensitas cita-cita.
Sebagai contoh anak yang berminat pada olah raga maka cita-citanya adalah menjadi olahragawan yang berprestasi, sedang anak yang berminat pada kesehatan fisiknya maka cita-citanya menjadi dokter.
b. Minat sebagai tenaga pendorong yang kuat.
Minat anak untuk menguasai pelajaran bisa mendorongnya untuk belajar kelompok di tempat temannya meskipun  suasana sedang hujan.
c. Prestasi selalu dipengaruhi oleh jenis dan intensitas.
Minat seseorang meskipun diajar oleh guru yang sama dan diberi pelajaran tapi antara satu anak dan yang lain mendapatkan jumlah pengetahuan yang berbeda. Hal ini terjadi karena berbedanya daya serap mereka dan daya serap ini dipengaruhi oleh intensitas minat mereka.
d. Minat yang terbentuk sejak kecil/masa kanak-kanak sering terbawa seumur hidup karena minat membawa kepuasan.
Minat menjadi guru yang telah membentuk sejak kecil sebagai misal akan terus terbawa sampai hal ini menjadi kenyataan. Apabila ini terwujud maka semua suka duka menjadi guru tidak akan dirasa karena semua tugas dikerjakan dengan penuh sukarela.  Dan apabila minat ini tidak terwujud maka bisa menjadi obsesi yang akan dibawa sampai mati.[13]
Dalam hubungannya dengan pemusatan perhatian, minat mempunyai peranan dalam “melahirkan perhatian yang  serta  merta, memudahkan terciptanya pemusatan perhatian, dan mencegah gangguan perhatian dari luar.”[14]
Oleh karena itu minat mempunyai pengaruh yang besar dalam belajar karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa maka siswa tersebut tidak akan belajar  dengan sebaik-baiknya, sebab tidak ada daya tarik baginya. Sedangkan bila bahan pelajaran itu menarik minat siswa, maka ia akan mudah dipelajari dan disimpan karena adanya minat sehingga menambah kegiatan belajar.
Fungsi minat dalam belajar lebih besar sebagai  motivating force yaitu sebagai kekuatan yang mendorong siswa untuk belajar. Siswa yang berminat kepada pelajaran akan tampak terdorong terus untuk tekun belajar, berbeda dengan siswa yang sikapnya hanya menerima pelajaran. Mereka hanya tergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus tekun karena tidak ada pendorongnya. Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil yang baik dalam belajar seorang siswa harus mempunyai minat terhadap pelajaran sehingga akan mendorong ia untuk terus belajar. 
B.     Macam-Macam Minat




  1. Pengertian Belajar
Beberapa ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang “belajar”. Dan sering kali rumusan dan tafsiran mereka itu berbeda satu sama lain. Dalam uraian berikut ini diperkenalkan beberapa rumusan tentang belajar guna melengkapi dan memperluas pandangan.
Belajar menurut bahasa adalah “usaha (berlatih) dan sebagai upaya mendapatkan kepandaian”.[15]
 Sedangkan menurut istilah yang dipaparkan oleh beberapa ahli, di antaranya oleh  Ahmad Fauzi yang mengemukakan belajar adalah “Suatu proses di mana  suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi (atau rangsang) yang terjadi”.[16]
Kemudian Slameto mengemukakan pendapat dari Gronback yang mengatakan “Learning is show by a behavior as a result of experience”.[17]
Selanjutnya Moh.Uzer Usman dan Lilis Setiawati mengartikan “belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya”.[18]
Nana Sudjana mengatakan “belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.”[19]
 “Belajar dalam arti yang luas ialah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi, dlaam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.”[20]

Belajar itu selalu menunjukkan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.
Menurut Matlin dan Meyers (dalam Reni Akbar Hawadi, 2006:168) belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman. Morgan dan kawan-kawan (dalam Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:14) menyebutkan belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.[21] Proses belajar merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar atau mahasiswa untuk mengerti suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui. Seseorang yang melakukan kegiatan belajar dapat disebut telah mengerti suatu hal, bila ia juga dapat menerapkan apa yang telah ia pelajari.[22]
Belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. Perubahan tingkah laku karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik psikis maupun pisik, seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
“Good dan Brophy dalam bukunya Educational Psychologi: A Realistic Approch, yang dikutip Ngalim M. Purwanto mengemukakan arti belajar dengan kata-kata yang singkat, yaitu Learning is the development of new associations as a result of experience.”[23]
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni (2007:13) menyebutkan belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan.
Dari beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu dari hasil pengalaman dan latihan.
Perubahan tingkah laku tersebut, baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun sikapnya (afektif).  Pengalaman itu diperoleh dengan cara menguasai pengetahuan, mengingat dan mendapatkan informasi atau menemukan informasi.




  1. Teori-teori Belajar

Menurut Gagne, belajar adalah kegiatan yang kompleks. Belajar menurutnya, adalah seperangkat kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melalui pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.[24]
Menurut Piaget bahwa belajar adalah sebuah proses interaksi anak didik dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan dan dilakukan secara terus-menerus. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan tersebut, maka fungsi intelek semakin berkembang.[25]
 “Menurut Roger belajar adalah sebuah proses internal yang menggerakkan anak didik agar menggunakan seluruh potensi kognitif, afektif dan psikomotoriknya agar memiliki berbagai kapabilitas intelektual, moral, dan keterampilan lainnya. Dalam hubungan ini, Roger mengkritik praktik pendidikan yang menitikberatkan pada segi pengajaran yang berpusat pada guru, danbukan berpusat pada siswa. Menurutnya, bahwa belajar harus berpusat pada siswa (student centris)”.[26]

Teori Psikologi Klasik tentang Belajar
Menurut teori ini manusia terdiri dari jiwa (mind) dan badan (body) atau zat (matter). Jiwa dan zat ini berbeda satu sama lain. Hakikat belajar adalah all learning is a process of developing or training of mind.[27]
Teori psikologi Daya (Faculty Psychology) dan belajar
Teori Mental State
Teori Psikologi Behaviorisme dan Belajar
Teori Connectionism dan Hukum-hukum Belajar
Teori Psikologi Gestalt tentang Belajar
Teori Psikologi Field Theory tentang Belajar
Gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses, dan mengerti suatu informasi. Menemukan gaya belajar adalah kunci dalam mencapai cita-cita. Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana menyerap dan mengatur serta mengolah informasi. Bila gaya belajar sudah dikenali, langkah-langkah penting dapat diambil untuk membantu agar anak dapat belajar dengan cepat dan lebih mudah. Hasil menunjukkan bahwa murid yang belajar dengan menggunakan gaya belajar yang mereka sukai akan mencapai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan bila mereka belajar dengan cara yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya.
Ada beberapa tipe gaya belajar yang bisa kita cermati dan mungkin kita ikuti apabila memang kita merasa cocok dengan gaya itu.
  1. Gaya Belajar Visual (Visual Learners)
Gaya belajar seperti ini menjelaskan bahwa kita harus melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya. Gaya belajar ini biasanya mengunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran.[28]
  1. Gaya Belajar Auditory Learners
Gaya belajar Auditory Learners adalah gaya belajar yang mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar sepserti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan.[29]
  1. Gaya Belajar Tactual Learners
Dalam gaya belajar ini kita harus menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar kita bisa mengingatnya.
Menurut Tim penyusun kamus besar Pusat Pembinaan dan Bahasa (1999:787) pengertian prestasi belajar adalah Penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Menurut Linawati (dalam Reni Akbar Hawadi, 2006:168) prestasi belajar adalah hasil penilaian guru terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan dari siswa.
Berdasarkan pendapat di atas prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa yang diberikan oleh guru terhadap proses dan hasil belajar yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku siswa yang biasanya ditunjukkan dengan nilai tes atau nilai angka yang diberikan oleh guru.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa,faktor-faktor tersebut diantanya adalah metode pengajaran di sekolah. Didalam metode pengajaran terdapat banyak sekali model-model pembelajaran yang bisa digunakan untuk membuat siswa menjadi aktif dan kreatif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dengan penggunaan model pembelajaran yang tepat pada suatu pokok bahasan akan mempercepat penguasaan siswa terhadap pokok bahasan tersebut.


E.     Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar di sekolah, adalah masalah-masalah yang harus dipelajari oleh setiap guru dalam usahanya untuk membina proses belajar. Adapun faktor-faktor tersebut ialah:
1.      Faktor Murid
a.  Taraf intelegensi
Intelegensi, dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi, yang mana: “berpikir” main peranan sangat menentukan.
b. Motivasi belajar
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak yang mampu menimbulkan kesemangatan/kegairahan belajar.
Adapun bentuk-bentuk dari motivasi belajar itu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1). Motivasi intrinsik: bentuk motivasi atau kesediaan untuk belajar karena terdorong oleh rasa ingin tahu.
2). Motivasi ekstrinsik: bentuk motivasi/kesediaan untuk belajar karena terdorong oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu.
c.  Perasaan, sikap dan minat
Perasaan merupakan faktor psikis non intelektual yang sangat berpengaruh terhadap kegairahan belajar. Dengan perasaannya, anak akan mengadakan penilaian terhadap pengalaman-pengalaman belajar di sekolah. Penilaian yang positif akan menimbulkan perasaan senang, aman, bahagia, puas, simpati dan lainnya. Sedangkan penilaian yang negatif akan menimbulkan perasaan resah, kecewa, gelisah, enggan dan takut.
d. Kesehatan fisik dan psikis
Kondisi fisik dan psikis yang sehat sangatlah berpengaruh positif terhadap kegiatan belajar. Namun sebaliknya, kesehatan yang sering terganggu akan menghilangkan minat dan menghambat proses belajar mengajar.
Kondisi fisik atau jasmani siswa saat mengikuti pelajaran sangat berpengaruh terhadap minat dan aktivitas belajarnya. Faktor kesehatan badan, seperti kesehatan yang prima dan  tidak dalam keadaan sakit atau lelah, akan sangat membantu dalam memusatkan perhatian terhadap pelajaran. Sebab belajar memerlukan kegiatan mental yang tinggi,  menuntut banyak perhatian dan pikiran jernih. Oleh karena itu apabila siswa mengalami kelelahan atau terganggu kesehatannya, akan sulit memusatkan perhatiannya dan berpikir jernih.
e.  Keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya
Keadaan ekonomi keluarga yang cukup/mewah, sering kali mengakibatkan kemunduran belajar, dan kedewasaan yang terlambat. Hal ini dikarenakan anak sering dimanja dan semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Akibatnya anak akan menjadi malas belajar, nakal, dan lain sebagainya. Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga yang lemah ekonominya, sering jauh lebih rajin belajar, namun ada juga anak yang merasa minder belajar bersama dengan  anak-anak yang kaya. Perasaan minder yang demikian akan mengganggu kegiatan dan keberhasilan belajar anak.
Keadaan sosial budaya yang tinggi dapat menciptakan kondisi yang menunjang kegiatan belajar anak di sekolah. Sedangkan anak yang hadir dari lingkungan kebudayaan yang rendah, banyak menemukan kebiasaan-kebiasaan di rumah yang tidak sama/berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di sekolah. Hal demikian itu juga berpengaruh terhadap kegiatan belajar.

Pengalaman belajar sangat berkaitan dengan kemampuan awal (entry behavior). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bloom, “kemampuan awal adalah pengetahuan, keterampilan dan kompetensi, yang merupakan prasyarat yang dimiliki  untuk dapat mempelajari suatu pelajaran baru atau lebih lanjut.”[30]
 
Setiap siswa masing-masing telah memiliki berbagai pengalaman belajar yang berbeda-beda yang diperolehnya di jenjang pendidikan sebelumnya. Hal tersebut merupakan modal awal bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar selanjutnya.
Pengalaman belajar yang telah dimiliki oleh siswa besar pengaruhnya terhadap minat belajar. Pengalaman tersebut menjadi dasar untuk menerima pengalaman-pengalaman baru yang akan sangat membantu dalam minat belajar siswa. Sebagai contoh, seseorang siswa akan sangat mudah dalam menguasai dan memahami materi pelajaran Agama, karena  ia telah memahami dan menguasai dengan baik materi pelajaran Agama sewaktu di SD/MI. Jadi, dapat dipahami bahwa pengalaman belajar Agama di jenjang pendidikan sebelumnya turut berpengaruh terhadap belajar siswa, terutama  dalam mata pelajaran Agama.

2.      Faktor Guru
Kiranya tidak perlu dipersoalkan lagi bahwa guru merupakan faktor penting bagi keberhasilan seorang anak itu melakukan kegiatan belajar.

a. Metode dan gaya mengajar guru Agama
Metode dan gaya mengajar guru juga memberi pengaruh terhadap minat siswa dalam belajar Agama. Oleh karena itu hendaknya guru dapat menggunakan metode dan gaya mengajar yang dapat menumbuhkan minat dan perhatian siswa.  Dominikus Catur Raharja menyatakan: Guru adalah kreator proses belajar mengajar. Guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten.[31]
Cara penyampaian pelajaran yang kurang menarik menjadikan siswa kurang berminat dan kurang bersemangat untuk mengikutinya. Namun sebaliknya, jika pelajaran disampaikan dengan cara dan gaya yang menarik perhatian, maka akan menjadikan siswa  tertarik dan bersemangat untuk selalu mengikutinya dan kemudian mendorongnya untuk terus mempelajarinya. Cara seorang guru dalam menyampaikan pelajaran sangat terkait dengan tipe atau karakter  kepribadiannya, seperti yang di kemukakan Muhibin Syah, sebagai berikut:
1) Guru yang otoriter (Autoriterian)
Secara harfiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Dalam PBM, guru yang otoriter mengarahkan dengan keras segala aktivitas para siswa tanpa dapat ditawar-tawar. Hanya sedikit sekali kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk berperan serta memutuskan terbaik untuk kepentingan belajar mereka, sehingga  antara guru dan murid tidak terdapat hubungan yang akrab.
2) Guru Laissez-Faire (Lezeifee)
Padanannya adalah individualisme (paham yang menghendaki kebebasan pribadi). Guru yang berwatak  ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan PBM secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam mempersiapkan diri. Sebenarnya guru tersebut tidak menyenangi profesinya sebagai tenaga pendidik meskipun ia memiliki kemampuan yang memadai.

3) Guru yang demokratis (Democratie)
Arti demokratis adalah bersifat demokratis yang pada intinya mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang. Guru yang memiliki sifat ini pada umumnya dipandang sebagai guru yang paling baik dan ideal.  Alasannya, dibanding dengan guru yang lainnya guru tipe demokratis lebih suka bekerjasama dengan rekan-rekan seprofesinya, namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Ditinjau dari sudut hasil pengajaran, guru yang demokratis dengan yang otoriter tidak jauh berbeda. Akan tetapi dari sudut moral, guru yang demokratis lebih disenangi oleh rekan-rekan sejawatnya maupun oleh para siswanya sendiri.
4) Guru yang otoritatif (Authoritative)
Otoritatif berarti berwibawa karena adanya kewenangan baik berdasarkan kemampuan maupun kekuasaan yang diberikan. Guru yang otoritatif adalah guru yang memiliki dasar-dasar pengetahuan baik pengetahuan bidang studi faknya maupun pengetahuan umum. Guru seperti ini biasanya ditandai oleh kemampuan memerintah secara efektif kepada para siswa dan kesenangan mengajak kerja sama kepada para siswa bila diperlukan dalam mengikhtiarkan cara terbaik untuk penyelenggaraan PBM.
Dalam hal ini, guru ini hampir sama dengan guru yang demokratis. Namun, dalam hal memerintah atau memberi anjuran, guru yang otoritatif pada umumnya lebih efektif, karena lebih disegani oleh para siswa dan dipandang sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan paknya.[32] Di samping itu, metode yang digunakan dalam menyampaikan pelajaran besar pula pengaruhnya terhadap minat belajar siswa.                        
Apabila  guru hanya menggunakan satu metode saja dalam mengajar maka akan membosankan, yang akhirnya siswa tidak tertarik memperhatikan pelajaran. Jadi hendaknya guru dapat  menggunakan berbagai metode mengajar yang bervariasi sesuai dengan tujuan pembelajaran. 

b. Tersedianya fasilitas dan alat penunjang pelajaran Agama Fasilitas dan alat  dalam belajar memiliki peran penting dalam memotivasi minat siswa pada suatu pelajaran. Tersedianya fasilitas dan alat yang memadai dapat memancing minat siswa pada mata pelajaran Agama.
 Fasilitas dan alat penunjang pelajaran Agama  yang dimaksud di sini bisa berupa :
• Alat dan fasilitas yang digunakan bersama-sama dengan murid. Sebagai contoh, papan tulis, kapur tulis/spidol, ruangan kelas dan sebagainya.
• Alat yang dimiliki oleh masing-masing murid dan guru. Misalnya : alat tulis, buku pelajaran Agama, buku pengangan guru dan lain sebagainya.
• Alat peraga yang berfungsi untuk memperjelas atau memberi gambaran yang lebih jelas tentang hal-hal yang diajarkan. Belajar dengan menggunakan fasilitas dan alat lebih efektif dan lebih menyenangkan dibandingkan tanpa menggunakan alat peraga atau hanya dengan teori saja.
c. Situasi dan kondisi lingkungan Situasi dan kondisi lingkungan turut memberi pengaruh terhadap minat belajar siswa dalam pelajaran. Faktor situasi dan kondisi lingkungan yang dimaksud di sini adalah faktor situasi dan kondisi saat siswa melakukan aktivitas belajar Agama di sekolah, baik fisik ataupun sosial.  Faktor kondisi lingkungan fisik termasuk di dalamnya adalah seperti keadaan suhu, kelembaban, kepengapan udara, pencahayaan  dan sebagainya. Belajar Agama pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya dari pada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap, atau belajar pagi hari akan lebih baik dari pada belajar siang hari. Jadi, minat dan perhatian siswa akan lebih baik jika jam pelajaran Agama di letakkan di pagi hari. 
Di samping itu, pengaturan cahaya yang kurang baik  dapat mengganggu proses pembelajaran Agama di dalam  kelas. Karena cara mengajar dan sistem pengajaran pada umumnya sangat banyak menggunakan penglihatan dan pendengaran. Sedangkan faktor kondisi lingkungan sosial dapat berupa manusia atau hal-hal lainnya. Misalnya siswa yang sedang belajar memecahkan soal Agama yang rumit dan membutuhkan konsentrasi tinggi, akan terganggu apabila ada siswa lain yang mondar-mandir di dekatnya atau bercakap-cakap keras di dekatnya.
Kondisi lingkungan sosial yang lain, seperti suara  mesin pabrik, hiruk-pikuk lalu lintas, gemuruh pasar dan sebagainya, juga berpengaruh terhadap konsentrasi dan perhatian siswa saat belajar Agama. Karena itulah disarankan hendaknya lingkungan sekolah agar didirikan jauh dari pabrik, keramaian  lalu lintas dan pasar.




F.     Pengertian Kitab Kuning (Kitab Salafiyyah)
Kata “kitab” itu dari bahasa Arab, artinya buku.[33] Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Mengenai warna kertas ini, beberapa
Adapun dari sisi materi yang termuat di dalam kitab kuning itu, sebenarnya sangat beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, imu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng. Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang ini.
Secara umum, keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil karya ilmiyah para ulama di masa lalu. Salah satunya adalah kitab fiqih, yang merupakan hasil kodifikasi dan istimbath hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Para santri dan pelajar yang ingin mendalami ilmu fiqih, tentu perlu merujuk kepada literatur yang mengupas ilmu fiqih. Dan kitab kuning itu, sebagiannya, berbicara tentang ilmu fiqih.
Sedangkan ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat vital untuk mengambil kesimpulan hukum dari dua sumber asli ajaran Islam. Boleh dibilang bahwa tanpa ilmu fiqih, maka manfaat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hilang. Sebab manusia bisa dengan seenaknya membuat hukum dan agama sendiri, lalu mengklaim suatu ayat atau hadits sebagai landasannya.
Padahal terhadap Al-Quran dan Al-Hadits itu kita tidak boleh asal kutip seenaknya. Harus ad kaidah-kaidah tertentu yang dijadikan pedoman. Kalau semua orang bisa seenaknya mengutip ayat Quran dan hadits, lalu kesimpulan hukumnya bisa ditarik kesana kemari seperti karet yang melar, maka bubarlah agama ini. Paham sesat seperti liberalisme, sekulerisme, kapitalisme, komunisme, bahkan atheisme sekalipun, bisa dengan seenak dengkulnya mengutip ayat dan hadits.
Maka ilmu fiqih adalah benteng yang melindungi kedua sumber ajaran Islam itu dari pemalsuan dan penyelewengan makna dan kesimpulan hukum yang dilakukan oleh orang-orang jahat. Untuk itu setiap muslim wajib hukumnya belajar ilmu fiqih, agar tidak jatuh ke jurang yang menganga dan gelap serta menyesatkan.
Salah satu media untuk mempelajari ilmu fiqih adalah dengan kitab kuning. Sehingga tidak benar kalau dikatakan bahwa kitab kuning itu menyaingi kedudukan Al-Quran. Tuduhan serendah itu hanya datang dari mereka yang kurang memahami duduk masalahnya.
Namun bukan sebuah jaminan bahwa semua kitab kuning itu berisi ilmu-ilmu syariah yang benar. Terkadang dalam satu dua kasus, kita menemukan juga buku-buku yang kurang baik yang ditulis dengan format kitab kuning. Misalnya buku tentang mujarrobat, atau buku tentang ramalan, atau tentang doa-doa amalan yang tidak bersumber dari sunnah yang shahih, atau cerita-cerita bohong yang bersumber dari kisah-kisah bani Israil , juga ditulis dalam format kitab kuning.
Jenis kitab kuning yang seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari ilmu-ilmu keIslaman yang benar. Dan kita harus cerdas membedakan matreri yang tertuang di dalam media yang sekilas mungkin sama-sama sebagai kitab kuning. Dan pada hakikatnya, kitab kuning itu hanyalah sebuah jenis pencetakan buku, bukan sebuah kepastian berisi ilmu-ilmu agama yang shahih. Sehingga kita tidak bisa menggeneralisir penilaian kita tentang kitab kuning itu, kecuail setelah kita bedah isi kandungan materi yang tertulis di dalamnya.

Kitab Kuning pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunkan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ‘ulama dan pemikir Muslim lainnya di masa lampau khususnya yang berasal dari Timur Tengah.[34] Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas, dan warna kertas “kekuning-kuningan”.
Namun demikian, kitab kuning mempunyai arti yang lebih luas yaitu kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa local lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ‘ulama di Timur Tengah, juga ditulis oleh ‘ulama Indonesia sendiri.
Kitab kuning adalah kitab klasik yang ditulis pada beberapa abad yang lalu dalam huruf Arab yang dipakai di lingkungan pesantren. Kitab tersebut disebut “kitab kuning” karena kertas dari kitab berwarna kuning, kitab itu dibawa dari Timur Tengah.[35]
Dalam khazanah kitab kuning biasa dikenal kitab matan (inti), syarh (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir). Hal ini untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan standar. Sebagai contoh, matan kitab taqrib diberi syarh dalam kitab Fath al-Qarib, yang pada gilirannya diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri. Ulama pesantren yang melakukan tradisi ini misalnya syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Soleh Darat al-Samarangi, dan Syekh Yasin al-Padangi. Syekh Mahfudh al-Tarmasi, misalnya, menulis hasyiyah kitab Mauhibah.
Tradisi ini juga mengindikasikan sejarah panjang keilmuan antara seorang ulama dengan para muridnya yang melintasi berbagai generasi. Misalnya dalam lingkup mazhab Maliki, para murid Imam Maliki mempercayai Abd al-Rahman ibn Qasim sebagai salah satu murid terbaik dari Imam Malik.

 “ Kitab tersebut sepanjang hari diajarkan kepada para santri secara berulang-ulang sehingga mereka mempunyai pemahaman dan kemampuan (al-fahm wa al-malakata) terhadap syariat dan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya. Kitab ini amat penting bagi mereka yang nantinya menjadi pemimpin, tokoh, bahkan barangkali ulama. Pemahaman terhadap hukum islam merupakan salah satu prasyarat utama. Karena itu, kitab ini begitu penting diajarkan kepada para santri sehingga mereka mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif terhadap hukum Islam.”
“Keindahan mutiara-mutiara yang keluar dari mulut mereka tentu tak lepas dari maraji’ dan literature yang mengelilinginya. Al-Qur’an dengan segala ragam ilmu tafsirnya, segudang kitab hadits dengan syarah dan catatan pinggirnya, dan jutaan lembar kitab-kitab kuning yang selalu mereka geluti bersama para santri.”

Di antara sekian banyak hal yang menarik dari pesantren yang tidak terdapat di lembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab salaf (klasik), yang sekarang ini terintroduksi secara popular dengan sebutan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kitab-kitab  itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun sudah banyak dicetak ulang pada kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata.
Kitab kuning memang menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning, melainkan karena kitab itu mempunyai cirri-ciri melekat, yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.

Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar, kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Misalnya kitabun, kemudian berturut-turut babun, fashlun, far’un dan seterusnya. Sering juga dipakai kerangka muqaddimah dan khatimah. Bahkan tidak sedikit yang pada awal pembahasannya diuraikan sepuluh mabadi’ (mabadi’ ‘asyrah) yang perlu diketahui oleh setiap yang mempelajari suatu ilmu tertentu.
Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak menggunkan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda Tanya, dan lain sebagainya. Subjek dan predikat sering dispisahkan dengan jumlah mu’taridhah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Ciri inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan keterampilan agar pembaca memahami makna dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikannya secara tertulis.
Masih ada ciri lain khusunya yang terdapat pada kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i. Pada kitab-kitab ini selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu. Misalnya, untuk menyatakan pendapat yang kuat dipakai kalimat al-madzhab, al-ashah, as-shahih, al-arjah, ar-rajih, dan seterusnya. Misalnya lagi untuk mengatakan kesepakatan antarulama beberapa madzhab digunakan ijma’an dan untuk menyatakan kesepakatan intern ulama satu madzhab digunakan kalimat ittifaqan. Padahal kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama menurut bahasa.




G.    Sejarah Kitab Kuning
Penelitian van den Berg tentang buku-buku yang digunakan di lingkungan pesantren di Jawa dan Madura pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ‘ulama Timur Tengah sejak abad 9 dan seterusnya; tetapi ini tidak berarti bahwa kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab tersebut ditulis pengarangnya atau penyalinnya di Timur Tengah.[36]
Momentum pembentukan kitab kuning di Indonesia, saya kira menemukan momentum terkuatnya sejak awal abad ke 19, yakni ketika pesantren-pesantren, surau-surau dan pondok-pondok mulai berkembang dan mapan sebagai institusi pendidikan Islam tradisional di berbagai daerah Nusantara.[37]
Materi yang dipelajari di pesantren berupa buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis, tetapi penyampaian secara lisan oleh para kiai, sangat penting. Proses belajar mengajarnya adalah beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks buku baris demi baris dan menerjemahkannya ke dalam bahasa pengantar (tergantung pada daerahnya, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah (komentar seperlunya). Buku-buku yang dipelajari biasanya di cetak di Mekkah, Kairo, dan Istambul.
“Banyak dari teks ini ditulis oleh tokoh-tokoh Arab atau timur Tengah yang terkemuka abad XII dan XIII, atau sebelumnya. Akan tetapi, sebagian dari penulisnya adalah orang Melayu dan Jawa.”



H.    Isi Kitab Kuning
Namun, pada tingkat yang lebih praktis, hampir seluruh kitab kuning yang ditulis para ‘ulama atau pemikir Indonesia selain mendasarkan diri pada ketiga sumber tersebut, juga berpijak pada hasil-hasil pemikiran ‘ulama yang diakui otoritasnya.[38]
Kitab kuning berisi berbagai macam ilmu dari bidang tauhid, fiqh, ilmu bahasa, sejarah, ilmu sosial, ilmu perbintangan, ilmu binatang dan lain sebagainya.
Misalnya al-Raniri (w. 1068/1658) dengan kitab fiqh ibadahnya berjudul Sirat al-Mustaqim, dan ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (w. 1105/1690) dengan kitab fiqh mu’amalahnya berjudul Minhaj al-Thullab.[39]
“Materi yang disampaikan kepada para santrinya ialah ilmu tasawuf dan tafsir. Dalam bidang tasawuf, kitab yang diajarkan adalah Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Kitab ini adalah kitab babon dan sangat popular di kalangan pesantren karena kitab ini merupakan ilmu yang menghubungkan hokum Islam dengan tata hati. Pesannya adalah setiap hal yang dilakukan setiap orang, tetapi tidak dimulai dengan hati yang bersih dan tenang, maka hal tersebut akan sia-sia, termasuk di dalamnya ibadah.”
“Adapun dalam bidang tafsir, yang diajarkan adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir. Kitab ini juga sangat popular di lingkungan pesantren, di samping kitab Tafsir al-Jalalayn. Kitab ini dikenal sederhana dan mudah dipahami ketimbang tafsir Mafatih al-Ghayb karya Imam Fakhruddin al-Razi.”
Dalam praktiknya, kitab kuning dapat digunakan sebagai alat komunikasi cultural dalam rangka membangun solidaritas. Di sinilah salah satu keistimewaan kitab kuning karena tidak berbicara dalam konteks perebutan kekuasaan. Ini berbeda dengan nalar keagamaan kelompok lain yang tidak mempunyai basis kitab kuning saat agama kerap kali diidentikkan dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, salah satu keberhasilan kalangan pesantren yang memedomani kitab kuning adalah komitmen untuk membangun umat, bukan komitmen untuk merebut kekuasaan.
Kitab kuning bukanlah kitab yang mengajarkan tentang kekerasan dan terorisme. Kitab kuning adalah kitab tentang kehidupan, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun amal social. Siapa pun yang mempelajarinya akan menguiasai ilmu agama dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Sumber utama pembelajaran dan bimbingan bagi Islam tradisionalis, selain al-Qur’an dan sunnah, adalah kitab kuning. Kitab kuning merupakan kumpulan bermacam-macam teks berbahasa Arab yang dianggap penting bagi pendidikan dasar Islam. Kitab ini meliputi juga buku-buku mengenai hal-hal yang bersifat duniawi, seperti tata bahasa Arab. Termasuk di dalam kategori Kitab Kuning adalah komentar-komentar standar atas Al-Qur’an (tafsir) dari zaman pertengahan dan teks-teks klasik tasawuf  atau mistisisme. Di dalamnya juga berisi bimbingan untuk ibadah, dan banyak lagi yang lainnya. Satu bagian dari kitab kuning berkaitan dengan masalah-maslaah masyarakat. Biasanya terdapat perbedaan antara dua jenis buku. Yang pertama adalah buku-buku agama yang bertautan dengan hokum Islam, biografi Nabi Muhammad, tasawuf, moralitas, dan penafsiran Al-Qur’an dan sunnah. Kenis buku yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan ilmu-ilmu instrument, seperti astronomi, biologi, matematika, dan logika.”



I.       Macam-macam Kitab Kuning
Di tempat itu, mereka biasanya mulai mempelajari bahasa Arab, usul dan fiqh yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab. Fiqh mempelajari bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan ibadah haji. Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari peraturan nikah, talak, dan rujuk, serta hukum warisan (faraidh).[40]
Kitab kuning di pesantren sebenarnya tidak hanya mencakup ilmu-ilmu tafsir, ‘ulum at-tafsir, asbab an-nuzul, hadits, ‘ulum al-hadits, asbab al-wurud, fiqh, qawa’id al-fiqhiyah, tauhid, tasawuf, nahwu, sharaf, dan balaghah saja. Lebih dari itu-meskipun hanya sebagai referensi kepustakaan pesantren-kitab kuning mencakup ilmu-ilmu mantiq, falak, faraidh, hisab, adab al-bahtsi wa al-munazharah (metode diskusi), thibb, hayah al-hayawan, tarikh, thabaqat (biodata) para ulama, bahkan sudah ada katalogisasi atau anotasinya. Misalnya kitab Kasyfu adz-dzumun fi Asma’I Kutubi al-Funun.





J.      Metode minat dalam mempelajari Kitab Kuning
Pendidikan dan pengajaran kitab kuning pada dasarnya hamper sama dengan pendidikan dan pengajaran yang dilakukan di sekolah formal. Akan tetapi, metode yang digunakan biasanya mempunyai bentuk tersendiri yang khas sejak dulu. Metode-metode tersebut antara lain:
a.       Weton/bandongan
Istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.
b.      Sorogan
Berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya (asisten kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai bahan setara materi pelajaran.
“Selain weton, ada pula system sorogan. Sorogan dilaksanakan sekali seminggu secara bersamaan dari semua tingkatan kitab, yang meliputi kitab dasar, kitab menengah, dan kitab tinggi. Kitab dasar dan kitab menengah dibimbing oleh beberapa guru senior, sedangkan kitab tinggi dibimbing langsung oleh KH. Badri Masduqi. Pelaksanaannya adalah setiap hari, selain hari  Jum’at, kira-kira setengah jam sebelum masuk waktu shalat magrib.”

c.       Halaqah
Sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab/materi pelajaran.
d.      Hafalan
Metode hafalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, juga sering dipakai untuk menghafal al-Qur’an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadznya.
Materi yang dipelajari di pesantren berupa buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab, teks tertulis, tetapi penyampaian secara lisan oleh para kiai, sangat penting. Proses belajar-mengajarnya adalah beberapa santri membaca kitab tertentu di bawah bimbingan kiai. Ia biasanya membaca teks buku baris demi baris dan menerjemahkannya ke dalam bahasa pengantar ( tergantung pada daerahnya, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda) disertai syarah (komentar seperlunya). Buku-buku yang dipelajari biasanya dicetak di Mekkah, Kairo, dan Istambul. Setelah santri menamatkan kitab tertentu, mereka memperoleh ijazah, setelah itu mereka dapat berpindah ke pesantren lain untuk mempelajari kitab lain. Banyak kiai terkenal menjadi ahli sejumlah kitab tertentu, kebanyakan kiai hanya mengajarkan kitab kuning.
Proses mengajarkan kitab kuning di pesantren melalui dua tahap. Tahap pertama dengan menggunakan metode utawi iki iku dengan rumus huruf mim dan kha’, dan seterusnya, untuk menguraikan arti tiap kalimat dan huruf-huruf yang bermakna, sekaligus juga menguraikan kedudukan tarkib dari sudut kaidah nahwu dan sharafnya. Tahap berikutnya adlaah penjelasan dan ulasan dari isi kandungannya secara tekstual-harfiah (letterlijk) maupun sampai dengan pengertian-pengertian di baliknya (mafhumat).
Tahap pertama yang tradisional itu, meskipun kelihatan agak rumit dan unik serta memakan waktu cukup panjang, namun sangat menguntungkan para santri dan mempermudah penangkapan kandungannya pada tahap berikutnya. Karena untuk mengetahui dan memahami kandungan dari sebuah ungkapan kitab kuning secara benar, sangat bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf bermakna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, lengkap dengan konteks-konteksnya.
Sedangkan tahap kedua merupakan penjabaran tuntas secara analisis dari yang bersifat manthuqat sampai dengan mafhumat. Bahkan sering juga pada kedua tahap itu, para kiai pembaca kitab kuning merespon dengan alas an-alasan yang memperkuat ungkapan itu sendiri, atau kadang-kadang menentang atau meluruskan yang dipandang tidak benar atau tidak tepat, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh ahli-ahli syarh dan hasyiyah.
Proses tersebut praktis dan relative lebih cepat bila, misalnya dibandingkan dengan cara mengajarkan kitab kuning di Masjidil Haram Makah. Di sana, seorang Syaikh pertama-tama membaca seluruh lafal sampai batas tertentu, kemudian menguraikan arti masing-masing kalimat, baru kemudian menerangkan kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, seperti Imam al-Kafrawi menguraikan i’rab matan al-Jurumiyah. Terakhir, baru menguraikan isi kandungannya panjang lebar.
Namun dengan cara pesantren, para santri dapat secara aplikatif lebih memahami kaidah nahwu-sharaf, dibandingkan denganbila pengajaran kitab dilakukan dengan metode lepas, dengan penerjemahan langsung dan bebas. Lebih dari itu, para santri dapat menghayati dan menumbuhkan dzauq al-‘arabiyah, yang sangat mempengaruhi pemahaman atas nilai sastra yang dikandung Al-Qur’an.
Metode sorogan juga sering dilakukan di pesantren. Prosesnya sama dengan di atas. Bedanya pada





K.    Evaluasi minat dalam mempelajari Kitab Kuning
Dibandingkan dengan kegiatan yang lainnya, pengajian kitab kuninglah yang paling banyak porsinya-sungguhpun pengajian ini sudah dilaksanakan di Madrasah Diniyah. Hal ini karena, pertama kitab kuning merupakan jantung keilmuan para santri dan terdiri dari banyak kitab yang beragam tingkatan dan pokok bahasannya.
Kejelian dan kepekaan seperti di atas merupakan fenomena dan kecenderungan santri, lebih mengutamakan kulit (tekstual) yang hanya terpaku pada bunyi nashsh kitab kuning. Ketika masalah-masalah harus dipecahkan dan dicari jawabnya, maka masalah itu diterik ke atas untuk disesuaikan dengan nashsh tersebut. Ini membuat watak kitab kuning menjadi legalistik. Akibatnya, bila realitas masalah tidak mungkin ditarik ke atas lalu dipending (mauquf).
Namun lebih dari itu, munazharah tersebut dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat menyusun konsep-konsep actual yang mampu menjadi rujukan yang memadai bagi permasalahan social yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan wawasan dari yang berdifat tekstual menjadi kontekstual.
Peningkatan munazharah seperti ini tentu saja harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi, di samping para ahli kitab kuning. Ini tidak berarti mengubah atau menghilangkan metode tradisional di atas, akan tetapi coba mengurangi fenomena dan kecenderungan legalistik yang tumbuh akibat metode itu sendiri. Bila peningkatan dimaksud tidak diupayakan, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat pada keluasan kitab kuning cenderung melemah. Perkembangan wawasan social dan kemajuan teknologi selalu menuntut konsepsi-konsepsi yang dapat menjadi alternative pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi masyarakat maju atau masyarakat berkembang.
Kajian kitab kuning lalu tidak terbatas pada kalangan santri/pesantren, oleh, dan untuk kalangan mereka saja. Dengan kata lain, kitab kuning dalam kajiannya akan mampu berdialog dengan referensi ilmiah di luar pesantren. Pada gilirannya, pesantren di tengah-tengah masyarakat modern ini, tetap tegar dan menjadi kebutuhan.





[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 583.
[2] Slameto,  Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),  h. 57.
[3] Sardiman A. M,  Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), h. 76.
[4] I. L. Pasaribu dan Simanjuntak,  Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Tarsito, 1983), h. 52.
[5]  Zakiah Daradjat,dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet.1, h. 133.
[6] Afifudin. SK.BA, Psikologi Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar (Surakarta: PT 1986), cet 1, 111
[7] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 14.
[8] Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 32.
[9] Sumadi Suryabrata, Op.Cit., h. 66.
[10] W.S. Winkell, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 30.
[11] Sardiman AM,  Op.Cit., (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 73.
[12] Sumadi Suryabrata, Op.Cit., h. 32.
[13] Abdul Wahid, “Menumbuhkan Minat dan Bakat Anak” dalam Chabib Toha (eds), PBMPAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 109-110.
[14] The Liang Gie,  Cara Belajar Yang Baik Bagi Mahasiswa, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2004), h. 57.
[15] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 965.
[16] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum Untuk,  (Bandung: CV Pustaka Setia,2004), Cet.ke-2, h. 44.
[17] Slameto, Op.Cit., h. 2. 13
[18] Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan belajar mengajar, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), h. 4.
[19] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Balai Pustaka, 1987), h. 28. 14
[20] Tabrani Rusyan, dkk, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), cet. 3, hlm 8
[21] ibid
[22] Drs. Ad Rooijakkers, Mengajar Dengan Sukses (Jakarta: PT Grasindo, 1991), cet VIII, 14
[23] Purwanto, M., Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1999, h. 85
[24] Dimyathi dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), cet. III, hlm. 10
[25] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), cet. I, hlm. 99
[26] Ibid hlm. 101
[27] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), cet. 3, hlm 35
[28] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), cet. 3, hlm. 181
[29] Ibid
[30] H. Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Belajar Mengajar, (Jakarta: Delia Press, 2004), Cet. ke-2, h. 64. 25
[31] Dominikus Catur Raharja, “Kesesuaian Pendidikan Bakat Menentukan Prestasi Siswa” , Penabur, XXVIII, 2 (Jakarta, 2001), h. 7. 26
[32] Muhibin Syah,  Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya), h. 253.
[33] Tradisi Orang-orang NU
[34] Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet IV, 111
[35] Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hal 304
[36] Hal 112
[37] Hal 114
[38] Hal 115
[39] k

No comments:

Post a Comment